Jekyll2021-11-09T21:27:58+00:00https://lia.kool-tjokro.net/feed.xmlLia TjokroI write. This is the home of my writings.Cerpen: Escape Velocity2021-03-30T09:00:00+00:002021-03-30T09:00:00+00:00https://lia.kool-tjokro.net/shortstory/2021/03/30/escape<p>Rin menatap langit yang masih menyisakan kelabu dan sisa-sisa titik air di permukaan bumi. Mengkilap dan segar. Daun-daun yang bergelayutan di pepohonan tampak meliuk-liuk tertiup angin utara yang dingin, gemericik suara air dari sungai di belakang rumah terdengar, deras dan meringankan hatinya yang sedang dilanda galau.</p>
<p>Rin menghela napas, jari-jemarinya meremas kertas di tangannya. Sepucuk surat yang isinya telah menggelayuti pikirannya sepanjang hari.</p>
<p>Rin menyapukan pandangannya ke dua foto dalam frame di atas mejanya. Satu, sebuah foto tua. Fotonya dengan mama dan papa. Mama, yang meninggal saat ia berumur 12 tahun. Papa, yang bekerja begitu keras demi membiayai sekolahnya dan adik-adiknya.</p>
<p>Dan foto satu lagi, Ton, pacarnya.
Ton, yang begitu tampan, begitu kurang ajar.
Ton yang hobi memberi ultimatum akan apa yang harus ia lakukan dalam hidupnya.</p>
<p><em>Rin, kau harus kurusin badan…atau aku akan…</em>
<em>Rin, kau harus bisa masak…atau aku akan…</em></p>
<p>Rin menghela napas. Ia meremas surat itu erat-erat. Ia mengembuskan napas, dan ditatapnya pelangi. Ya, pelangi yang muncul setelah hujan.</p>
<p>Ada saat dalam hidupnya, tatkala ia mengira Ton adalah berkat luar biasa untuk hidupnya. Ia harus menjaga Ton baik-baik, karena ia takut kehilangan dan kesepian.</p>
<p>Ton menghempasnya dan mengikis setiap percaya dirinya. Membuatnya merasa sebagai perempuan terbodoh di dunia.</p>
<p>Tapi ia bukan perempuan terbodoh sedunia dan segenap alam semesta membantunya untuk menyadari itu.</p>
<p>Profesor Pamela, profesor tua baik hati yang menjadi supervisor skripsinya yang membuatnya jatuh cinta pada fisika.</p>
<p>Fisika. Dunia tempat ia berkenalan dengan <em>escape velocity.</em></p>
<p>Tahukah kau, bagaimana sebuah roket bisa terbang jauh melanglang ruang angkasa?
Sebuah roket, harus bisa mencapai sebuah kecepatan yang luar biasa untuk bisa lepas dari tarikan gravitasi bumi yang akan selalu berusaha menariknya balik dan terhempas ke bumi. Sebuah kecepatan dan kekuatan untuk melepaskan diri. Escape velocity.</p>
<p>Rin mengangguk mantap. Dibukanya surat yang sudah lecek karena ia sibuk meremasnya sepanjang hari.</p>
<p><em>Letter of Acceptance.</em>
<em>Graduate Program in Astronomy and Astrophysics.</em>
<em>Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics.</em></p>
<p>Impiannya.</p>
<p>Rin mengambil sebuah pena, dan dengan cepat ia menandatangani garis di atas surat itu.</p>
<p><em>I, Rin Andromeda Vay, accept the offer to continue my graduate study at Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics.</em></p>
<p>Rin menatap foto Ton satu kali lagi, menggeleng, lalu melemparnya ke dalam tong sampah.</p>
<p>Rin mengambil secarik kertas, dan mulai menulis untuk Ton.</p>
<p><em>Dear Ton,</em>
<em>I have reached my escape velocity. I am flying away from you.</em>
<em>And you?</em>
<em>Well, you can go to hell.</em></p>Rin menatap langit yang masih menyisakan kelabu dan sisa-sisa titik air di permukaan bumi. Mengkilap dan segar. Daun-daun yang bergelayutan di pepohonan tampak meliuk-liuk tertiup angin utara yang dingin, gemericik suara air dari sungai di belakang rumah terdengar, deras dan meringankan hatinya yang sedang dilanda galau.Cerpen: Petualangan Si Bola Merah2021-03-02T10:00:00+00:002021-03-02T10:00:00+00:00https://lia.kool-tjokro.net/shortstory/2021/03/02/bolamerah<p>Sebuah bola kecil berwarna merah menggelinding di jalan berdebu.</p>
<p>Merah. Kusam. Dengan permukaan yang lumayan mulus untuk bola lusuh sebesar ukuran bola basket itu.</p>
<p>Dari mana datangnya?</p>
<p>Tidak ada yang tahu.</p>
<p>Mau ke mana bola itu menggelinding?</p>
<p>Hanya nasib yang tahu. Nasib, dan segala ilmu teori fisika yang memungkinkan sebuah bola menggelinding di jalan berdebu penuh kerikil itu.</p>
<p>Daerah itu kumuh dan kering. Daerah termiskin dari kota ini. Kadang-kadang, jalanan itu dibersihkan dan segala lubang ditambal. Dua bulan kemudian, aspal itu akan amblas lagi, karena yang dipakai adalah aspal kualitas palsu.</p>
<p>Namun, tidak peduli kondisi jalan itu. Bola merah it terus saja menggelinding.</p>
<p>Sampai seorang bocah laki-laki berumur sekitar enam tahun datang berlarian dari dalam rumahnya yang sangat sederhana dan mengambil bola itu.</p>
<p>HUPPP! Si bocah menangkap bola itu dan tersenyum senang.</p>
<p>“Bola merahnya bagus sekali!” bisik si bocah sambil matanya sibuk mengamati bola itu, lalu matanya juga berkeliling mencari apakah bola itu ada pemiliknya. Bagaimanapun, mencuri itu tidak baik, tidak boleh. Setelah yakin bola itu tidak berpemilik, si bocah berlari masuk ke rumahnya yang sederhana.</p>
<p>Ayahnya sedang duduk tepekur memandangi sebuah slip kertas merah.</p>
<p>“Ayah! Lihat! Ada bola di jalanan!! Tidak ada pemiliknya, Yah…aku ambil…” girang si bocah.</p>
<p>Sang ayah mengangkat wajahnya yang lelah berkeringat dan mencoba tersenyum. Senyum yang berhasil muncul hanyalah sebuah senyum getir. Mungkin karena pikirannya penuh oleh isi slip merah ditangannya.</p>
<p>Slip PHK.</p>
<p>“Yah! Main bola yuk, Yah! Sebentar saja, yuk!” si bocah melompat-lompat girang.</p>
<p>Si ayah terbatuk. Ditatapnya si anak. Dihelanya nafas berat. Pikirannya penuh. Kusut masai benang di pikiran itu. Namun, apa salahnya main sepakbola sebentar, pikir si ayah sambil menatap bola mata bening sang anak yang membinar begitu bahagia.</p>
<p>Jadilah ayah dan anak itu bermain bola di lapangan kering beberapa meter dari rumah mereka.</p>
<p>Bola merah itu menggelinding kesana kemari mengikuti arah tendangan sang ayah dan anak. Tak lama, tawa lepas terdengar. Sang ayah berhasil mencetak gol! Lalu si anak berteriak-teriak girang.</p>
<p>Permainan bola itu berlangsung sejam. Lebih, mungkin. Ayah dan anak itu sama-sama berkeringat, dan bermain dengan segenap hati.</p>
<p>BUKKKK!!! Pada satu kesempatan, si ayah menendang bola terlalu keras. Bola itu melambung jauh, melewati sebuah pagar tembok tinggi yang memisahkan mereka dari sungai deras di balik pagar tembok itu.</p>
<p>“Yaaahhh…ayah…bolanya hilang sekarang…” bisik si anak sedih.</p>
<p>Sang ayah menggigit bibirnya. Kecewa tendangannya sudah melambungkan bola itu di luar jangkauan mereka.</p>
<p>“Maaf ya, Nak…lain kali ayah belikan bola baru ya…” ucap sang ayah perlahan sambil menepuk bahu anaknya. Sang anak menoleh dan menatap sang ayah dengan penuh harapan.</p>
<p>“Benar, ya, Yah?”</p>
<p>Sang ayah tersenyum. Lalu mengangguk pasti. “Aku janji,” ucapnya mantap, semantap-mantapnya.</p>
<p>Iapun pulang sambil menggandeng sang anak. Ada harapan baru di hatinya. Ia harus mencari kerja lagi! Supaya ia bisa mulai menabung untuk membelikan bola untuk anaknya…</p>
<p>Sementara itu…</p>
<p>Ke mana si bola pergi?</p>
<p>Bola merah itu kini basah kuyup, mengambang di atas sungai berair deras setelah jatuh di sungai itu habis ditendang si ayah barusan.</p>
<p>Dan bola kecil it terus mengambang mengalir bersama air sungai deras berwarna kecoklatan itu.</p>
<p>Sampai bola itu tersangkut di sebuah pohon yang jatuh ke sungai. Cabang-cabang pohon besar itu bertebaran, dan bola merah itu tersangkut di salah satu cabang itu.</p>
<p>Seorang pemuda sedang melamun di tepi sungai. Ia sedang dilanda duka setelah pacarnya memutuskan hubungan kasih mereka karena menilai dirinya sangat egois. Si pemuda melihat bola itu dan berjalan untuk memungut bola yang nyangkut itu.</p>
<p>Pemuda itu membawa bola itu sambil mengamatinya. Bola kumal, pikir si pemuda.</p>
<p>“Kak!! Bolanya pinjam dong!!” teriakan sekelompok anak terdengar. Si pemuda menoleh, dan dilihatnya sekelompok anak-anak berlompatan berusaha mendapatkan perhatiannya. Hmm, anak-anak itu pasti berasal dari tenda-tenda pengungsi korban bencana tanah longsor yang berada di dekat sini. Mereka kehilangan semua harta benda dalam bencana besar 3 hari lalu itu.</p>
<p>Si pemuda berpikir sejenak. Kenapa tidak, akhirnya ia memutuskan.</p>
<p>Maka si pemuda pun sibuk menjadi wasit pertandingan bola anak-anak itu. Sungguh menyenangkan.</p>
<p>Dan sang mantan pacar si pemuda yang kebetulan menjadi tenaga relawan di tenda pengungsi itu melihat pemuda itu begitu bahagia bersama anak-anak bermain bola. Sang mantan pacar pun tersenyum kecil dan berpikir, “Hmm…mungkin aku salah menilainya…satu kali kesempatan harus aku berikan padanya!”</p>
<p>Happy ending buat si pemuda dan pacarnya yang akhirnya balikan.</p>
<p>Bagaimana nasib si bola? Nah, si bola merah ditendang oleh salah satu anak itu dan meluncur ke sebuah selokan yang membawa bola itu mengalir jauh…</p>
<p>Ke mana bola itu pergi?</p>
<p>Itu adalah pertanyaan untuk para pembaca semua. Ke mana bola itu pergi? Siapa yang akan memungutnya? Bagaimana cerita kelanjutan si bola merah?</p>
<p>Aku juga tidak tahu. Mungkin, ada tangan malaikat yang menggerakkan bola itu. Membawa kebahagiaan dengan cara yang tak kasat mata.</p>
<p>Sudahkah kau membuat setidaknya satu orang tersenyum hari ini? Kalau sebuah bola merah kumal bisa, kau pasti bisa!</p>Sebuah bola kecil berwarna merah menggelinding di jalan berdebu.Cerpen: Dark2021-02-05T14:00:00+00:002021-02-05T14:00:00+00:00https://lia.kool-tjokro.net/shortstory/2021/02/05/dark<p>“Tidak bisa. Aku tidak bisa…” bisik Cassandra kepada wanita di hadapannya. Napasnya terengah, rambutnya kusut masai, dan segala warna telah hilang dari wajah itu.</p>
<p>“Kau bisa,” sebuah jawaban yang membuat Cassandra mendelik marah pada wanita di hadapannya itu.</p>
<p>“Gampang untukmu! Kau…kau…hanyalah…” bentaknya marah, air liurnya menetes dari ujung bibirnya yang kering pecah berdarah.</p>
<p>“Aku hanyalah seseorang yang sangat mengenalmu dan aku tidak mau kau jatuh lebih dalam!”</p>
<p>“Kau…” Cassandra terbungkam, ia tak sanggup melanjutkan katanya. Wajah di hadapannya begitu familiar, namun kini terasa begitu jauh dan begitu menyakitkan untuk dipandang.</p>
<p>Ahh…dan emosi itu mendekapnya lagi dalam gelap. Enam bulan terakhir dalam dekapan emosi itu bagaikan jurang tak berdasar. Cassandra menarik napas dalam-dalam, terasa sakit di dadanya. Matanya berkunang-kunang, fragmen botol-botol berisi pil-pil di hadapannya. Dibacanya huruf-huruf hitam di botol pil itu.
Prozac. Teman setianya, antidepresan yang membantu mengembalikan sedikit warna di hari-hari abu-abunya.</p>
<p>“Kau tahu itu bukan salahmu…” bisik wanita di hadapannya.</p>
<p>“Diam kau!”</p>
<p>“Wanita itu melompat di depan kereta! Ia memang ingin mati! Dan sekarang, apa kau mau mati juga?”</p>
<p>Cassandra tercekat, dan didengarnya gedoran keras di pintu.</p>
<p>“Aku gagal menariknya! Aku melihat di akan melompat, dan aku berlari sekuat aku bisa. Aku cuma berhasil menarik jaketnya, dan dia…dan dia…jatuh…” sesenggukan tangis Cassandra tatkala bayangan tubuh wanita asing itu jatuh berdebum tepat di depan kereta metro yang melaju kencang kembali membanjiri ruang kepalanya. Dan dirinya jatuh berserakan dalam jurang depresi sejak peristiwa 6 bulan lalu itu.</p>
<p>Psikolog yang ia temui menyebutnya sebagai PTSD. Post Traumatic Stress Disorder. Setiap hari, bayangan tubuh wanita itu yang diterjang kereta metro, dan bunyi berdebum yang begitu memekakkan masih ia dengar.</p>
<p>Gedoran keras di pintu tak ia hiraukan.</p>
<p>Cassandra menatap wajah wanita di hadapannya. Wajah itu, begitu familiar namun saat ini, tidak banyak yang bisa ia ingat mengenai wanita itu.</p>
<p>“Minum obatmu, Cassie…” bisik wanita itu.</p>
<p>“Tidak. Apa bedanya?”</p>
<p>“Obat akan membantumu mengingat hidupmu lagi. Mengingat hari-hari dan senyum. Dan Lucas. Ia sangat menyayangimu, dan keadaanmu seperti ini membuatnya sangat sedih juga.”</p>
<p>“Lucas…”</p>
<p>“Ya, Lucas. Suamimu.”</p>
<p>Gedoran itu semakin kuat di pintu.</p>
<p>Cassandra memejamkan matanya. Airmatanya mengalir deras. Pipinya terasa pedih saat airmata itu mengalir di kulitnya. Kulitnya menjadi merah dan kering karena tangis yang amat sering jatuh diatasnya.</p>
<p>Suara deru metro yang menghantam tubuh wanita itu kembali memekakkan telinganya. Cassandra menutup telinganya dan mulai menangis meraung-raung. Suara tangisnya sedikit menenggelamkan suara deru metro di kepalanya itu.</p>
<p>Cassandra membuka matanya dan diantara gelembung airmata yang berderaian dapat dilihatnya wanita di hadapannya. Seseorang yang ia kenal.</p>
<p>Ia mengambil sebuah gelas dari atas wastafel. Ia benci wanita itu! Dengan satu lemparan keras, gelas itu meluncur ke wanita di hadapannya itu.</p>
<p>Cermin kamar mandinya jatuh berserakan. Wanita itu hilang.</p>
<p>Cassandra meraung-raung.</p>
<p>Pintu kamar mandi didobrak dan seorang laki-laki menerjang masuk.</p>
<p>“Cassie!! Tidakkah kau mendengarku menggedor pintu?!” sergah Lucas. Raut wajahnya penuh rasa kuatir yang amat sangat.</p>
<p>Ia melorot, jatuh terduduk di atas lantai kamar mandi dalam pelukan Lucas, sang suami.</p>
<p>Tapi pertarungannya dengan sang monster di dalam kepalanya belum usai. Pertarungan yang mungkin akan ia menangi atau mungkin ia akan kalah total…</p>“Tidak bisa. Aku tidak bisa…” bisik Cassandra kepada wanita di hadapannya. Napasnya terengah, rambutnya kusut masai, dan segala warna telah hilang dari wajah itu.Short Story: A Night & A Conversation…2020-10-08T10:00:00+00:002020-10-08T10:00:00+00:00https://lia.kool-tjokro.net/shortstory/2020/10/08/anightandconv<p>It was a dark night. Kala quickened her steps, and the gravels that shifted under her flappy sandals almost tripped her. She couldn’t be late. She could feel some rain drops, cold and sharp on her nose. Ah…that smell of rain.</p>
<p>There was a time in her life, long time ago, that she used to love that smell. Kala shook her head, and focused more on the path ahead of her. No, no memory of the past. The chill of the night stabbed her skin, and she kept walking. The wetness of the air permeated her nose, as the wind blew her hair. Kala stopped suddenly. She took a deep breath, and listened carefully. Rustling of leaves. Drizzling of weak rain. No. They couldn’t catch up with her now. Not now. Kala continued walking. She was almost there, she knew it.</p>
<p>Tonight, 4th of April. Every year, she had an appointment for a conversation. A short, but important, conversation.</p>
<p>Kala saw the house at the end of the street. The lights were not switched on. The house looked even more run down, as each year went by. Kala froze in front of the door. The ventilation opening on the steel door was covered with a mosquito net. Kala opened the door. Kala could almost hear little footsteps running around in that house. Laughter of children. Cries of babies. Bantering of servant girls in the kitchen. Smells of food & molds. They flooded her, like pictures of moving reels in her head. They came from far away, long time ago.</p>
<p>And she saw her.</p>
<p>There she was, sitting on a chair, next to the dining table. She looked as beautiful as she was last year, and the year before last. Her dark hair framed her round face, her dress was impeccable.</p>
<p>“Mama…” Kala’s voice quivered from the coldness of the rain outside.</p>
<p>“Kala… my dear Kala…” Mama looked up and gestured for her to come close. Kala came closer, and she could smell her perfume. Flowery jasmine fragrance. Kala sat down on the floor, next to Mama.</p>
<p>“I come, Mama… I come this year too.”</p>
<p>“Is everything alright with you, Kala?”</p>
<p>“Yes, Mama…”</p>
<p>Kala hesitated a bit. She bit her lips, and she softly continued, “They found a new drug for me. I don’t know, Mama. Should I take it? If I take it, I won’t be able to come see you anymore. I don’t know, Mama. I don’t know…”</p>
<p>Mama smiled weakly. She stroked Kala’s hair gently.</p>
<p>“Take it, Kala. 10 years is enough.”</p>
<p>Kala started sobbing. Mama held her shoulders, and whispered.</p>
<p>“I will miss you. But you must go on. There are so many things for you to still do. People to meet. Memories to be made. Things to learn. Learn, Kala, learn. Learn to hope once again, learn to love once again. Learn to forgive what had happened. And most of all, learn to find your peace.”</p>
<p>Kala sobbed.</p>
<p>“One more question, Mama…”</p>
<p>“Yes, Kala?”</p>
<p>“If you could have chosen that night. At that moment. What will you choose?”</p>
<p>Mama smiled weakly, she sighed. She looked so pale.</p>
<p>“I would have chosen to stay, Kala. I would…. but it is not for me to decide, is it now, Kala? Go, Kala, go home to Papa and Sasha. They must be worried sick by now.”</p>
<p>Kala sobbed quietly, as Mama moved slowly up the stairs. She turned around, and waved to Kala. “Go Kala, go. The rain gets heavier soon.”
“I love you, Kala…”</p>
<p>Kala smiled softly and took a deep breath. She felt lighter. Done. All’s done.
Suddenly, the steel door swung open. Two women came in. They gently sat next to Kala on the floor.</p>
<p>“Kala, we were worried about you. Your father and sister are waiting at the hospital. Can we go now?” one of them whispered. Kala looked to her, wiped her tears with her fingers, and nodded.</p>
<p>4th April. 10 years ago. Mama died when she gave birth to Sasha. She lost too much blood. Kala was 12. Afterwards, Kala plunged into a severe depression, and now, they discovered a drug to cure her completely. The only side effect of the drug: An amnesia of her past life.</p>
<p>Kala walked in between the two women from the hospital who came to pick her up at the place they knew she had been going every year. Her childhood home.</p>
<p>Kala smiled quietly, looked up to the night sky, and whispered, “I will heal, Mama. I will. I love you…”</p>It was a dark night. Kala quickened her steps, and the gravels that shifted under her flappy sandals almost tripped her. She couldn’t be late. She could feel some rain drops, cold and sharp on her nose. Ah…that smell of rain.Cerpen: Mercusuar untuk Sang Pelaut2020-09-28T10:00:00+00:002020-09-28T10:00:00+00:00https://lia.kool-tjokro.net/shortstory/2020/09/28/mercusuar<p>Laut hari itu tenang. Biru, sebiru-birunya, sepanjang mata memandang. Ombak lemah lembut bergelut gemulai, berkejaran satu sama lain, tak lekang oleh waktu, dari hari pertama angin berembus sampai nanti, di penghujung waktu.
Matahari terik di langit cerah tak berawan.</p>
<p>Dan sang pelaut menghela napas.</p>
<p>Ia lelah.
Ia pegal.
Ia takut.</p>
<p>Kulitnya merah pecah-pecah.</p>
<p>Air asin laut menggerus memedihkan.</p>
<p>Dieratkannya pelukannya pada sebatang kayu hitam basah rapuh, sisa dari perahunya.</p>
<p>Perahu yang karam karena menabrak karang.</p>
<p>Karang yang tadinya ia kira pulau tempat ia dapat bersinggah melepas penat membasuh peluh.</p>
<p>Bersinggah? Tidak, tidak jadi. Angin badai bertiup, marah, angkuh, melesakkan perahunya, menghantam karang. Dan karam.</p>
<p>Tuhan. Ya. Tuhan. Tuhan yang sudah lama ia abaikan, mungkin Tuhan ini juga yang membantunya, sehingga hari itu bukan jadi harinya yang pamungkas sebagai manusia bernapas.</p>
<p>Ia berhasil meraih sebatang kayu dan berpegangan erat-erat pada kayu itu. Terombang-ambing.</p>
<p>Pikirannya terlempar jauh, terbawa arus memori dan nostalgia, ke tahun-tahun yang telah lampau, yang lama lewat, yang lama lapuk, yang lama ingin ia lupa, namun apa daya, ia tak tega.</p>
<p>Ia pergi dari rumah, melangkah gagah, meninggalkan sarang sayang yang ramah dan hangat dalam kebasan debu langkah kakinya.</p>
<p>Ia kibaskan selimut hangat dan keluar menghadapi terpaan angin dan hantaman badai.</p>
<p>Ia cium kening istri dan tangan ibunda. Janji ia ucapkan. Aku pasti akan pulang. Pasti.</p>
<p>Ia harus buktikan ia laki-laki, mendayung perahunya, mencoba meraih cita, dan mimpi, akan harta dan tahta.</p>
<p>Lama ia melaut.</p>
<p>Dan laut, sang samudera, dengan ombaknya yang terkadang membelai terkadang menghempas, mengubahnya.</p>
<p>Oh! Betapa jauh arus membawanya!</p>
<p>Ia bertemu…ah…bidadari laut. Cantik dan montok, mereka yang membawanya berbelok, tatkala ia harus lurus.</p>
<p>Ia mengais harta karun, ahh…betapa indah menyilaukan emas berlian itu!</p>
<p>Gelimang harta karun dan nyanyian cinta pesona bidadari laut sungguh memberinya kebahagiaan. Mabuk, lupa, namun juga bahagia.</p>
<p>Mabuk sampai tak bisa ia bedakan lagi mana hitam mana putih.</p>
<p>Lupalah ia pada rumah dan janji.</p>
<p>Dan kebahagiaan?</p>
<p>Itu yang ia pikir ia rasakan.</p>
<p>Sampai harta karun habis, bidadari laut menghilang, dan kebahagiaannya pun menguap.</p>
<p>Semua ternyata hanyalah fatamorgana, ilusi yang mencampakkannya.</p>
<p>Dan akhirnya, hanya ia dan perahunya yang tersisa.</p>
<p>Perahu yang kini karam.</p>
<p>Sang pelaut menghela napas.</p>
<p>Ia bingung, sebingung-bingungnya. Hilang arah, hilang nalar, di mana ia sekarang? Ke mana ia harus pergi?</p>
<p>Ah, dilihatnya rajah hitam pudar di punggung tangannya.</p>
<p>Sebuah nama.</p>
<p>Sekilas paras.</p>
<p>Seuntai kenangan.</p>
<p>Kenangan yang lama ia khianati.</p>
<p><em>Ingatkah ia akan aku?</em> pikir sang pelaut.</p>
<p><em>Akankah ada senoktah maaf di hatinya yang seputih kapas selembut awan?</em></p>
<p><em>Aku mau pulang, pulang padanya.</em></p>
<p><em>Mercusuarku.</em></p>
<p>Sang pelaut menangis tersedu-sedu.</p>
<p>Ia butuh mercusuarnya sekarang!</p>
<p>Ia mau pulang!</p>
<p>Ia rindu!</p>
<p>Namun, matanya semakin gelap.</p>
<p>Air laut semakin asin.</p>
<p>Kulitnya semakin pedih.</p>
<p>Ia lelah, tulangnya bergemeretak, sendinya meradang, dan ia sangat mengantuk.</p>
<p>Kesadarannya memudar, perlahan melayang menyentuh tabir nadir antara ada dan tiada.</p>
<p>Pegangannya pada batang kayu terlepas, dan laut dengan senang hati menelannya, perlahan, air menggumulnya, mengisi paru-parunya, membelai tengkuknya, wajahnya, rambutnya, ubun-ubunnya, menariknya turun, turun…</p>
<p>Detak debar jantungnya, satu-satunya teman pengusir sepi di malam-malam tak berbintang, perlahan sayup, dan akhirnya, senyap.</p>
<p>Dan ia bermimpi, sebuah mimpi yang panjang…</p>
<p>Akan titik detik waktu yang telah berhenti berlari.</p>
<p>Akan senyum hangat.</p>
<p>Akan cinta tulus.</p>
<p>Dan akan usapan halus yang membasuh pedih luka badan dan lara hatinya.</p>
<p>Pengampunan yang mendamaikannya di hilir hidupnya.</p>
<p>Ia menemukan mercusuarnya!</p>
<p>Akhirnya!</p>
<p>Mercusuar yang akan menuntunnya pulang.</p>
<p>Mercusuar untuk sang pelaut yang telah lama hilang di dalam hempasan pusaran samudera, dan telah sangat rindu untuk ditemukan…</p>Laut hari itu tenang. Biru, sebiru-birunya, sepanjang mata memandang. Ombak lemah lembut bergelut gemulai, berkejaran satu sama lain, tak lekang oleh waktu, dari hari pertama angin berembus sampai nanti, di penghujung waktu. Matahari terik di langit cerah tak berawan.Short Story: A Wife for Monsieur Chamboulet2020-07-22T15:00:00+00:002020-07-22T15:00:00+00:00https://lia.kool-tjokro.net/shortstory/2020/07/22/awife<p>La-Croisille-sur-Briance.</p>
<p>A sleepy farm town, a little dot on a spot next to the River Briance, in the province Limousin, in the southwest of France.</p>
<p>Well, that was what everybody said. Only cows and cornfields hung in there. Tired and stuck.</p>
<p>One bakery.</p>
<p>One insurance office.</p>
<p>One bank – a branch, that only opened three times a week.</p>
<p>One post office.</p>
<p>One pharmacy.</p>
<p>One grocery store, that only opened from 9-12, but it did open five days a week! Now, that was a lot for a town like La Croisille-sur-Briance!</p>
<p>Two restaurants, that closed during winter months, and during spring and summer, they opened three times a week plus the weekend.</p>
<p>But, Monsieur Sebastien Chamboulet loved the town.</p>
<p>He was, afterall, born there.</p>
<p>In the same farmhouse that he lived in now. All by himself.</p>
<p>He reared cows. Not just any cows, by the way. The famous Limousin cows, mind you! The big, brown-haired cows that produced good meats. Famous all over France and the world across the oceans!</p>
<p>Monsieur Chamboulet had everything! His limousin cows, his farmhouse, his fields, his 1978 car, a Renault of course. He could go for vacation to towns like Saint Hilaire-Bonneval, Saint Vitte-sur-Briance, Beaulieu-sur-Dordogne, Linards, Saint Méards, or, even all the way to Eymoutiers, Meymac, or even a metropolitan like Limoges, 57km to the north! Who needed Paris? Or Marseille? Or Toulouse? He had never been to Paris, Marseille, or Toulouse. Too far, and too expensive!</p>
<p>Now, there was one thing he did not have, yet.</p>
<p>A wife.</p>
<p>Yes, a lady of the house. The farmhouse.</p>
<p>His old aunt, Aunt Bernice Chamboulet, had been badgering him about it. Oh! How could she still be sharp enough to remember that he had no wife, yet? She was 95! She lived in a nursing home, in Bugeat.</p>
<p>She would call, once a week, every Thursday at 10:30 in the morning.</p>
<p>She would ask, every time, whether he had a wife, already.</p>
<p>No! Of course not!</p>
<p>Monsieur Chamboulet was too busy with his prized cows to find a wife.</p>
<p>Was he ugly?</p>
<p>No! Of course not!</p>
<p>He was just a tad overweight, with a beer-belly, and a moustache that needed more shaving. He had beards, which also needed a bit more shaving. He had developed a slight rheumatism on his legs’ joints, but he could still walk just fine, most of the time.</p>
<p>Was he smelly?</p>
<p>Are you kidding me? No! Of course not!</p>
<p>He took shower every few days, too often and his skin got too dry. He made sure to always, always scrub his armpits… and, well, all the other parts of his body, which need not to be mentioned here…</p>
<p>It’s the women. Women were always a mystery to him!</p>
<p>Cows, his prized limousin cows, were much, much, easier to understand! They ate. They chewed for a long time, and then drank some water, then sat and chewed again, and they did not protest too much. He could predict them much better than women!</p>
<p>He had, of course, met women before. Women, who made his heart flutter and his logic went awry…</p>
<p>Like a certain Mademoiselle Sophie Désannéres. They were both 17 when they met at a neighbour’s party. She was pretty, with brown curls and blue eyes. She was kind, and gentle. But she…well, she refused to be a farm wife, and went to school instead in Limoges. She studied to be a lawyer, actually.</p>
<p>Sophie broke his heart, maybe…</p>
<p>Then came Marguerite Rosneux. Well, she was married when they met. With 3 kids. They were both 28. Ahh, they would meet in secret to satisfy the bubbling lust, and that went well, until her husband found them in the barn and chased him away with a rake.</p>
<p>Marguerite died a few years after the barn incident, maybe of brokenheart. He was not sure, he was not allowed at her funeral…</p>
<p>Elise Chârot was next. Well, she was way too short. 152cm! And he was 169cm!</p>
<p>Clementine Blancaque. She decided to go to Le Vigen, and became a nun.</p>
<p>Celine Farquardt. Now, she was too tall. 175cm!</p>
<p>Isabel Chandön? She was too fat.</p>
<p>Lillian Periquieux? She was too whiny.</p>
<p>Corinne Pérrè? She had hairs in her ears!</p>
<p>Monsieur Chamboulet smiled when he looked at his green pasture and the cows grazing on it.</p>
<p>He had everything!</p>
<p>He was just 52 afterall. Still plenty, plenty of time to find a wife and shut Aunt Bernice up.</p>
<p><em>C’est la vie, et la vie est belle.</em></p>
<p><em>Voila!</em></p>
<p>NOTES:</p>
<ol>
<li>C’est la vie, et la vie est belle = It’s life, and life is beautiful.</li>
<li>Monsieur: Mr.</li>
<li>Mademoiselle: Miss.</li>
</ol>La-Croisille-sur-Briance. A sleepy farm town, a little dot on a spot next to the River Briance, in the province Limousin, in the southwest of France.Short Story: The Little Dream Fairy2020-07-15T20:00:00+00:002020-07-15T20:00:00+00:00https://lia.kool-tjokro.net/shortstory/2020/07/15/lilfairy<p>There was a little fairy. Well, she was not so little, she was almost a big fairy. A few more thousands of years, that’s it, then she would be a big fairy.</p>
<p>But now, she, Kyra, was still a small fairy, with little fairy eyes, little fairy nose, little fairy mouth, and of course, little fairy wings that flapped really fast!</p>
<p>Fairy Kyra lived on a little cloud that floated to the west of the moon, to the north of earth, to the west of Jupiter, to the…well, you got the idea. It floated.</p>
<p>It floated here and there. It visited the eight planets, it dropped by the shooting star, it zipped past an asteroid, it raced the moving galaxies…it just floated!</p>
<p>Kyra loved it on her little cloud. Once in a while, she would go to the really big cloud, and met all the other fairies there. Once, every ten thousand years. Maybe. She lost count.</p>
<p>Now, Kyra, of course, like other little fairies, had a very, very important task.</p>
<p>What is it, you may ask?</p>
<p><em>Dreams!</em></p>
<p>Kyra’s task was to make sure all the children on the beautiful blue earth had beautiful dreams.</p>
<p><em>Dreams about cookies and sugarfloss and strawberry cream.</em></p>
<p><em>Dreams about ponies and pandas and koalas.</em></p>
<p><em>Dreams about good friends and great parties.</em></p>
<p><em>Dreams about birthdays and presents and waterballoons.</em></p>
<p><em>Dreams about books and magic and wonderland.</em></p>
<p>Kyra had a really thick book with her notes on who got what dream tonight, so she would not accidentally give the same dreams two days in a row to the same kid! That would be boring, now, wouldn’t it? There were so many nice dreams to give!</p>
<p>But these past few days, Kyra was sad. She just sat on her little cloud with her mouth folded in a grim line across her chubby face.</p>
<p>She was sad, and, bored.</p>
<p>Her job was too easy! She would never, ever, be remembered in the Great Hall of the Fairies, if all she ever did was to give good dreams to children!</p>
<p>Too easy and too boring! she thought as she pouted and sighed and whined.</p>
<p>She sat and sat, and good dreams were not given to any child that night.</p>
<p>Sad night for all the children.</p>
<p>Until Hubert came. Yes, Hubert, Kyra’s fairy grandfather.</p>
<p>He was old. Really old, with long white beard, and white moustache, green eyes, and really long fairy ears.</p>
<p>“Kyra!” he shouted as he jumped to Kyra’s cloud and sat next to the sad little fairy.</p>
<p>Kyra’s eyes lighted up and she was happy to see Grandpa Hubert.</p>
<p>“Why don’t you give good dreams tonight to all the children?” Grandpa asked.</p>
<p>Kyra sighed and with a shaky voice told her wise grandpa all her troubles.</p>
<p>Grandpa Hubert laughed.</p>
<p>“Kyra, you actually, have a very important job! It may seem simple, but you know, without you, the children have to go through the night in a dreamless sleep!”</p>
<p>“What’s wrong with that?” Kyra didn’t understand.</p>
<p>“They have no fuel, Kyra. The beautiful dreams give them fuel, to grow, to be adults who will always remember the goodness of their childhood!”</p>
<p>“Oh…you mean, the good dreams help them grow?”</p>
<p>Grandpa Hubert nodded hard and smiled.</p>
<p>“Yes! They dream, and they smile, and they grow. Adults…don’t dream as much as children. The nice, really nice dreams, little Kyra, only children have those…”</p>
<p>“Why?” Kyra was confused.</p>
<p>“Adults have too many things in their lives, Kyra. Sometimes, a lot of times, they forget even how to dream.”</p>
<p>Kyra sighed.</p>
<p>“Children dream. Sometimes bad dreams happen. But the good dreams are the ones that help them remember the warmth of their blankets, of good people, and good days…”</p>
<p>“Why they have to remember those, Grandpa?”</p>
<p>Grandpa Hubert was quiet for a bit, then he said, “When they become adults, and life becomes hard, it helps them to be stronger when they can remember the good dreams, the good ol’ days, Kyra…”</p>
<p>Kyra thought and thought for a while.</p>
<p>Then she lighted up in a big smile.</p>
<p>“I will do my task, Grandpa! To give good dreams!” she shouted as she flew away, leaving a proud Grandpa Hubert behind.</p>
<p><em>Yes, dreams. Good dreams for children.</em></p>
<p><em>Hopefully they will always remember the good dreams even in days when it is hard to remember…</em></p>There was a little fairy. Well, she was not so little, she was almost a big fairy. A few more thousands of years, that’s it, then she would be a big fairy.Cerpen: Willemijn2020-07-14T10:00:00+00:002020-07-14T10:00:00+00:00https://lia.kool-tjokro.net/shortstory/2020/07/14/willemijn<p>Kastil Reinhardstein. Bangunan batu yang menjulang indah di tengah hutan 30 menit dari kota Malmedy, di selatan Belgia. Kastil yang dibangun di tahun 1300an itu tua, dengan semak-semak tumbuh di berbagai bagian luar temboknya yang tetap kokoh walaupun dimakan usia.</p>
<p>700 tahun usia kastil itu! Betapa banyak yang sudah ia saksikan, betapa banyak orang yang sudah berdiri disini, di titik ini, mengagumi keindahan dan kemegahan kastil itu.</p>
<p>“Ben! Sudah siap?!” suara panggilan ibunya mengagetkan Ben, pemuda jangkung kurus berusia 18 tahun dan berkacamata dengan frame hitam yang sedang sibuk mengagumi keindahan kastil itu.</p>
<p>Ben berbalik, tas ranselnya yang lumayan penuh dengan berbagai tetekbengek bergoyang-goyang mengikuti putaran tubuhnya.</p>
<p>“Siap Ma!” sahutnya sambil menuruni sebuah jalan setapak kecil di halaman kastil itu menuju ke arah seorang wanita bule cantik paruh baya bertopi lebar yang tengah menantinya di gerbang kastil itu.</p>
<p>“Yuk! Pemandu kita sudah siap tuh!” ucap mamanya sambil menepuk bahu putranya. Ben mengangguk-angguk. Mamanya mempunyai kebiasaan ini…menepuk bahunya keras dalam berbagai kesempatan, walaupun kadang ia juga menepuk bahunya tanpa alasan.</p>
<p>Ah, ia akan rindu Mamanya saat ia kembali ke Indonesia minggu depan. Mengapa papa dan mama harus bercerai? Lima tahun. Lima musim panas, ia habiskan liburannya dengan mamanya di Belgia, negara kelahiran mama.</p>
<p>Suatu saat kau akan mengerti, Ben.</p>
<p>Cinta, kadang, harus berakhir di satu titik.</p>
<p>Kami tetap mencintaimu dan akan tetap menjadi papa dan mamamu.</p>
<p>Begitu. Kata papa dan mama.</p>
<p>Ben hanya mengangguk-angguk, tanpa pernah benar-benar mengerti. Tanpa pernah benar-benar setuju. Tampaknya yang namanya cerai adalah suatu hal di mana sang anak tidak akan ditanya apakah dia setuju atau tidak. Padahal, kalau acara liburan, dulu, Ben pasti akan ditanya apakah ia setuju atau tidak. Atau mau makan apa malam Minggu. Atau mau beliin kado apa untuk nenek. Atau mau mainan apa untuk kado ultahnya. Semua ia akan ditanyai, pendapatnya cukup berharga. Tapi, ironisnya, dalam satu hal mahapenting ini, kelanjutan keluarganya, ia tidak ditanyai. Tidak sama sekali.</p>
<p>“Ben! Jangan ngelamun dong!” Tepukan tangan mamanya di bahunya mengagetkan Ben lagi.</p>
<p>Ben buru-buru mengikuti langkah Mamanya ke arah sang pemandu yang akan membawa mereka keliling di kastil tua itu.</p>
<p>Pemandu itu wanita paruh baya, seumuran Mama. Ia mengenakan pakaian gaun ala abad pertengahan dengan rambut yang tersanggul rapi. Sekuntum bunga mawar berwarna kuning tampak tersemat manis di sanggulan rambutnya itu.</p>
<p>Pemandu itu mengucapkan selamat datang pada Ben, mamanya, dan kira-kira 10 orang lain yang juga akan ikut dalam rombongan tour keliling kastil itu.</p>
<p>Tour keliling kastil itu benar-benar merenggut segenap fokus Ben. Tangga-tangga melingkar yang sama tuanya dengan bangunan kastil itu tanpa pernah direstorasi, karpet-karpet tua original, lukisan-lukisan wajah orang-orang yang pernah hidup di kastil ini…</p>
<p>Sejarah yang bisa ia sentuh di ujung jarinya saat ini. Bau-bauan batuan tua yang merasuki hidung. Begitu banyak cerita yang tersimpan di kastil ini! Keluarga-keluarga bangsawan yang pernah tinggal di sini, ada yang berakhir bahagia, ada yang tragis, ada yang sangat tragis.</p>
<p>Kematian, kelahiran, duka, suka, intrik, politik, cinta tak sampai…</p>
<p>Dan perceraian.</p>
<p>Ternyata konsep bercerai sudah ada juga sejak zaman kastil ini!</p>
<p>Ben menghela napas. Suara pemandu yang sibuk menjelaskan mengenai asal-usul baju zirah yang megah terpajang di ruang utama kastil itu terdengar semakin sayup.</p>
<p>Perlahan ia melangkah menuju sebuah lorong di samping kanan ruang utama kastil itu.</p>
<p>Kiri kanan lorong itu tampak penuh berbagai senjata-senjata yang terpajang rapi di dalam kotak-kotak kaca. Pedang berbagai ukuran, tombak, perisai, busur.</p>
<p>Lantai batu di bawah kakinya terasa naik turun tak rata. Sepatu ketsnya menyerap sebagian tonjolan-tonjolan tak rata dari lantai batu itu, tapi tidak semua.</p>
<p>“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tiba-tiba sebuah suara merdu mengagetkan Ben.</p>
<p>Ben berbalik dari pedang yang sedang diamatinya. Seorang gadis manis berbaju gaun zaman abad pertengahan, dengan mata biru laut dan rambut keemasan panjang bergelombang berdiri di ujung lorong itu.</p>
<p>Dari pakaiannya, Ben menduga gadis itu juga pemandu kastil itu. Walaupun bajunya warnanya berbeda dari warna baju pemandu grupnya.</p>
<p>Ben gelagapan. “Ehh aku…aku ikut rombongan tour kastil ini!” sahutnya sambil diam-diam mengagumi kecantikan gadis di hadapannya ini. Anggun, langsing, dan mungil. Mungkin tingginya tidak sampai 160cm.</p>
<p>“Lalu kok kamu di sini? Ini bukan ruangan yang termasuk dalam tour kastil ini…” gadis itu menelengkan wajahnya penuh rasa ingin tahu.</p>
<p>“Maaf…maaf…aku nyasar…” jawab Ben seadanya.</p>
<p>Gadis itu menatapnya, menyelidik. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Rambut pirang keemasannya tampak bergoyang seiring anggukan kepalanya.</p>
<p>“Baik kalau begitu. Rombonganmu sudah berada di lantai bawah kastil ini. Kau mau ke sana? Aku bisa mengantarmu…”</p>
<p>Ben tidak mendengar suara pemandunya lagi. Ahh, mungkin Mamanya, sang sejarawan amatir, terlalu larut dalam tour itu sehingga tidak menyadari ia sudah tidak bersama rombongan!</p>
<p>“Baiklah,” sahut Ben. Ia tahu ia butuh pemandu untuk bisa menemukan kembali rombongannya karena kastil ini sangat besar dengan lorong-lorong dan tangga-tangga yang lumayan membingungkan. Dan ia tidak mau mamanya panik karena ia hilang!</p>
<p>“Aku Willemijn…kamu?” gadis itu menganggukkan kepalanya tanda perkenalan. Gadis itu tampaknya ramah sehingga membuat Ben merasa lebih tenang.</p>
<p>“Ben…Benjamin Reynaud Santoso…” sahut Ben, tidak yakin apakah gadis itu mau tahu nama lengkapnya.</p>
<p>Willemijn mengangguk dan tersenyum.</p>
<p>“Ayo!” ajaknya.</p>
<p>Ben menurut dan mulai mengikuti langkah gadis itu.</p>
<p>Dan Willemijn membawanya menuju ruangan demi ruangan yang penuh dengan berbagai artefak kastil. Perpustakaan kuno dengan buku yang berumur ratusan tahun, ruangan tidur berbagai penghuni kastil, dapur, dan Willemijn sungguh pemandu yang sangat berpengetahuan! Ia menjelaskan segala hal dengan lancar, dengan detail luar biasa.</p>
<p>Ben terus berjalan, tanpa menyadari bahwa gadis itu membawanya dalam rute yang begitu panjang untuk kembali bertemu rombongannya.</p>
<p>Namun ia sungguh menikmati tour kastil itu bersama Willemijn.</p>
<p>“Kau tinggal di dekat sini ya? Kau tahu begitu banyak tentang kastil ini,” ucap Ben akhirnya.</p>
<p>Willemijn berbalik dan menatapnya dengan mata biru indah itu. “Iya. Dari lahir,” sahut Willemijn sambil tertawa kecil. Suara tawa yang merdu itu membuat jantung Ben berdetak lebih kencang.</p>
<p>“Ini! Ruangan lukisan keluarga…” Willemijn membuka sebuah pintu kayu yang berat.</p>
<p>Ben mengikuti langkahnya masuk ke dalam ruangan itu.</p>
<p>Ahh bau debu tercium menyengat.</p>
<p>Jajaran lukisan tua berbagai ukuran tampak tergantung di dinding ruangan itu.</p>
<p>Willemijn dengan lancar menjelaskan siapa obyek dari setiap lukisan tua itu.</p>
<p>Sampai mereka berhenti di depan sebuah lukisan sepasang pria dan wanita. Sang pria tampak berkumis dan janggut hitam lebat dengan tatapan mata biru yang dingin menusuk. Sang wanita tampak duduk, wajah bulatnya dihiasi senyum yang amat samar dan tatapan mata yang tampak sayu. Sayu dan lelah. Entah mengapa, Ben merasa ada kesedihan di lukisan itu.</p>
<p>“Tuan dan Nyonya van den Regenhout…tuan tanah daerah sini pada tahun 1600an…” Willemijn berucap lirih sambil mengelus lukisan itu.</p>
<p>Ben mengangguk.</p>
<p>“Mereka menikah saat masih sangat muda, memiliki 10 anak, dan lukisan ini dibuat beberapa bulan sebelum mereka memutuskan bercerai…” jelas Willemijn perlahan.</p>
<p>Ben tercenung. Sepuluh anak-anak Tuan dan Nyonya van den Regenhout juga harus menghadapi monster mengerikan bernama perceraian orangtua.</p>
<p>“Orangtuaku juga cerai…” lirih suara Ben.</p>
<p>Willemijn menoleh dan menatapnya, penuh pengertian. “Sedih ya rasanya…”</p>
<p>Ben mengangguk. Ia menangis berhari-hari saat mengetahui papa dan mamanya akan tinggal terpisah. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Kalau ia tidak suka membantah, apakah mama papa masih akan bersama? Kalau ia tidak suka melanggar aturan mengenai jam main games-nya, apakah papa mama akan batal cerai? Apakah pertengkaran antara mama dan papa karena dirinya? Apa sih salahnya, sebenarnya?</p>
<p>“Tapi kau masih menyayangi papa mamamu, bukan?” tanya Willemijn.</p>
<p>Ben menghela napas. “Tentulah, Willemijn! Aku sayang mereka dan tidak ingin mereka pisah!”</p>
<p>“Kalau kau sayang mereka, kau mau mereka bahagia kan?”</p>
<p>Ben berpikir sejenak, dan mengangguk.</p>
<p>“Papamu adalah satu orang, mamamu adalah orang yang lain. Mereka bertemu, dan memutuskan untuk saling mencintai, dan lahirlah kamu. Dan kamu, adalah satu orang juga, yang lain dari papa dan mamamu…” mata biru Willemijn menari lembut.</p>
<p>“Lalu?” Ben bertanya sambil berusaha menyelami dalamnya biru mata Willemijn.</p>
<p>“Lalu…saat mereka memutuskan berpisah, dan mengakhiri hubungan pernikahan mereka, itu bukan berarti kau juga harus berhenti berbahagia, Ben. Kau harus tetap hidup sepenuhnya…dan belajar mensyukuri apa yang masih kau miliki. Apa yang terjadi bukanlah salahmu…” suara Willemijn lembut membasuh luka hati Ben. Luka yang belum pernah terasa benar-benar sembuh sejak perceraian orangtuanya.</p>
<p>“Orangtuamu cerai juga ya?” Ben mencoba tersenyum.</p>
<p>Willemijn tersenyum lembut. “Ya. Dan percayalah, butuh waktu lama, sangat lama, bagiku untuk bisa mengatakan apa yang barusan kukatakan padamu…”</p>
<p>Ben mengangguk.</p>
<p>Willemijn membawanya keluar dari ruangan itu, turun sebuah tangga melingkar dari batu, dan mendorong sebuah pintu yang membawa mereka ke sebuah ruangan lagi yang juga penuh lukisan.</p>
<p>Dilihatnya rombongan tournya.</p>
<p>Tak ada seorangpun yang tampaknya menyadari ia sudah tidak bersama rombongan sedari tadi…</p>
<p>“Itu rombonganmu, Ben. Terima kasih atas kunjunganmu di kastil ini! Aku senang telah bertemu denganmu…” Willemijn menepuk tangannya pelan.</p>
<p>Ben tergagap.</p>
<p>“Willemijn, boleh aku tahu kamu tinggal di mana? Boleh aku mengontakmu sesekali?”</p>
<p>Willemijn tersenyum samar. “Ingatlah aku, Ben! Ingatlah kastil ini! Ingatlah untuk tetap hidup, hidup sepenuhnya. Aku…aku tinggal disini…”</p>
<p>Willemijn berbalik dan menutup pintu.</p>
<p>Ben tercenung mencoba mencerna kata-kata Willemijn.</p>
<p>“Ben!! Sini!! Lihat ini!” tiba-tiba suara Mama menyentak Ben.</p>
<p>Ben mengamati pintu tempat Willemijn berlalu, dan akhirnya memutuskan untuk berbalik dan berdiri di samping mamanya yang sedang mengagumi sebuah lukisan tua.</p>
<p>Lukisan seorang gadis cantik bermata biru laut dan berambut pirang keemasan. Tatapan mata gadis itu tampak sayu, malu-malu, ada banyak kata tersimpan, namun tak terucap, dan takkan pernah lagi terucap…</p>
<p>Sebuah plakat nama tampak tergantung di bawah lukisan itu:</p>
<p>Lady Willemijn Anneliese van den Regenhout, 1650-1668.</p>
<p>“Cantik ya Ben…” bisik Mama pada Ben yang sekarang melongo pucat pasi. Keringat dingin bercucuran dari keningnya.</p>
<p>“Willemijn…” tanpa sadar Ben mengulang nama itu.</p>
<p>“Ahh, ya…Lady Willemijn. Putri bungsu Tuan dan Nyonya van den Regenhout. Dia jatuh dalam depresi berat setelah perceraian orangtuanya, dan bunuh diri di usianya yang ke-18 tahun…” suara pemandu yang sudah berada di samping Ben terdengar sayup, dikalahkan debar jantung Ben yang begitu keras menghentak-hentak sekarang.</p>
<p>Willemijn! Kau sudah tiada dari tahun 1668! Lalu yang barusan membawanya tour kastil…adalah…</p>
<p>Semua kata-kata Willemijn terngiang jelas di telinganya sekarang.</p>
<p>Pantas dia tahu begitu banyak mengenai kastil ini! Ia benar-benar pernah hidup dan tinggal di sini…</p>
<p>Ben menghela napas, berbalik dan memeluk mama dengan erat. Tidak, ia tidak harus berhenti berbahagia, dan mungkin, berpisah adalah salah satu cara papa dan mama mencari kebahagiaan mereka, dan…membantunya mencari kebahagiaannya sendiri…</p>
<p>Ben menoleh menatap kastil itu saat tour selesai. Dilihatnya Willemijn dan senyum lembutnya di salah satu jendela kastil.</p>
<p>Willemijn mengangguk, dan Ben balas mengangguk. Tersenyum. Dan berlalu, meninggalkan kastil Reinhardstein, dan Willemijn, di belakang.</p>
<p><em>NOTE</em></p>
<ol>
<li>Kastil Reinhardstein ada di Ardennes, Belgia.</li>
</ol>Kastil Reinhardstein. Bangunan batu yang menjulang indah di tengah hutan 30 menit dari kota Malmedy, di selatan Belgia. Kastil yang dibangun di tahun 1300an itu tua, dengan semak-semak tumbuh di berbagai bagian luar temboknya yang tetap kokoh walaupun dimakan usia.Short Story: Fly…2020-07-13T15:00:00+00:002020-07-13T15:00:00+00:00https://lia.kool-tjokro.net/shortstory/2020/07/13/FLY<p>The pitter-pattering of the water sounded almost like a random music that played beautifully to those ears who were willing to figure out the tunes. Ahh, and the cumulonimbus, the unmistakable rain clouds, towered above the horizon far away. Grey, massive, and still.</p>
<p>The traffic was quite a mess out there looking from where Penelope sat. She squirmed a bit in her seat, in a dimly-lit Indonesian restaurant close to her office. The smell of spices emanated from the kitchen. Hmmm…warm and soothing. Fresh galangal, turmeric, cardamom, and coriander…and God knows what else they had in there. They just smell so good. Fragrant and brought a lot of memories back of her Grandma Tika. She is a quarter Indonesian, afterall. Her grandma came from Palembang, a town in South Sumatra. Her mom is half Indonesian, which made her, a quarter Indonesian. The country with such rich heritage in food!</p>
<p>“Would you like to order now, Miss?” a voice brought Penelope back to that dimly-lit restaurant.</p>
<p>Penelope let her eyes skim the entrance door of the Dewi Sri Restaurant where she sat. He was not here yet.</p>
<p>“No, I am waiting for someone actually,” smiled Penelope at the waitress, who looked like the high school student/grandkid/voluntary helper of the restaurant owner.</p>
<p>“Oh sure! More tea, maybe?”</p>
<p>“Yes, please. Chamomile…” Penelope pushed her almost empty cup and the waitress disappeared to bring her a new cup of tea.</p>
<p>Penelope rubbed her hands. <em>Where is he now? After 15 years, can’t he be a bit more on time?</em></p>
<p><em>Ahh, 15 years. Is it that long ago?</em></p>
<p><em>Is she nervous now?</em></p>
<p>Maybe. Penelope bit her lips. She tugged her glasses to position it right above her nose. Perfectly.</p>
<p>And she saw him stumbling in the entrance of the restaurant.</p>
<p>His eyes scanned the restaurant and quickly landed on her. He rushed in, and now Penelope could see the droplets of water on him. He still looked like he was 15 years ago. Tall, lanky, with that dorky black-rimmed glasses. He has a thin moustache now though.</p>
<p>“Hey…” Penelope stood and extended her hand for a shake.</p>
<p>The man looked at her, a bit hurt, almost.</p>
<p>“Really, Pennywenny? A handshake to an old friend?” and he moved forward and embraced Penelope in a hug, with his wet coat and all.</p>
<p>Penelope couldn’t help but laugh. She pushed him a bit and looked at the man in front of her.</p>
<p>“How are you, Dammy?”</p>
<p>“Stop it, you know I hate Dammy…”</p>
<p>“I hate Pennywenny,” Penelope pursed her lips as she stated her preference.</p>
<p>“Ok, let’s start over. How are you, Penelope?”</p>
<p>“I am here, aren’t I, Damien?”</p>
<p>Penelope smiled. Damien slung his coat across the seat next to him and the two sat down facing each other. The smell of cheap cologne filled her nostrils.</p>
<p>Damien laughed. Ahh, the laugh that made her fall hard head over heels many years ago…</p>
<p>“I am fine too, just in case you are wondering!” announced Damien.</p>
<p>The waitress came with the chamomile tea for Penelope. She took a drink order from Damien. Black coffee, no sugar.</p>
<p>“Well, you will have to recommend some nice Indonesian food for me!” Damien said as he took the menu and started turning pages after pages of options.</p>
<p>Penelope sipped her tea and took another menu and started looking. <em>Gosh how she missed him!</em></p>
<p>“You should try the rendang! You will fall in love with it so hard you have no idea…” announced Penelope as her eyes skimmed the main menu page.</p>
<p>Damien looked up and nodded. His blond hair and blue eyes looked darker in this dimly-lit restaurant.</p>
<p>“Or the gado-gado…” added Penelope.</p>
<p>Damien wasn’t paying attention anymore to the recommendation. His gaze pierced Penelope, like a long lost ship that finally found a port in a deep hazy night…</p>
<p>“Glad I bumped into your sister last week on the plane to New York from Los Angeles…” Damien’s voice quivered a bit.
“Yeah. I spoke to Jessica on the phone, she told me she met you on the plane and she gave you my email.” Penelope toyed with the handle of her teacup. She did feel nervous! 15 years!</p>
<p>“You live in New York now?”</p>
<p>“Yes, been there for the past 10 years, Penelope.”</p>
<p>“What are you doing there?”</p>
<p>“Well…I used to be a lawyer. Now, well, I am a pianist…”</p>
<p>Penelope chuckled. Damien had always been good with piano. His rendition of Beethoven’s “Moonlight Sonata” was the best that she had ever heard. Bar none.</p>
<p>“That’s a big difference!”</p>
<p>“Yeah, being a lawyer gets really tiring and boring. I need something else.”</p>
<p>Penelope nodded. <em>And your wife…how is she?</em> Penelope ran the question in her mind, couldn’t bear to ask it out loud.</p>
<p>“Lizzie and I are divorced since 8 years ago. No kids…” ahh, he volunteered the information.</p>
<p>Penelope batted her eyelashes. <em>8 years. Long years.</em></p>
<p>“Well, why you never looked for me then?” asked Penelope. Not sure she wanted to know the answer. What was the answer she wanted anyway?</p>
<p>Damien smiled one sad smile. “Will you forgive me?”</p>
<p>“Forgive you for what, Damien? 15 years ago…you fell in love so hard with Lizzie and you decided you wanted to marry her. You were 20, yeah, a bit young. We were young then, Damien. But I am not sure it was a mistake you need apologizing for…”
Penelope voice trailed off.</p>
<p>Damien chuckled. His black-rimmed glasses shook a bit. “Fifteen years ago, when I told you I was going to marry Lizzie, you cried and you said you’d never forgive me. I was confused, you were not even my girlfriend…”</p>
<p>Penelope pursed her lips and smiled dryly.</p>
<p>“I was a little girl then, Damien. I’ve known you since we were 12. From that school camp week, remember. I always thought we would be together forever. Bestfriends. I guess over the years, I felt a bit differently. I felt something…well, deeper…” Penelope bit her lips. She is 35 now. She can handle telling the truth…</p>
<p>“Are you saying you loved me then, Penelope?”</p>
<p>The waitress came with the coffee for Damien and took their order. Rendang, gado-gado, and two plates of white rice. Extra sambal on the side.</p>
<p>“Penelope?”</p>
<p>Penelope took a deep breath. Those days when she and Damien were inseparable.</p>
<p>They were young. They were kids who were bestfriends. And possibly in love!</p>
<p>“Yes, Damien. I think I was in love with you.”</p>
<p>Damien laughed and leaned forward. “Well, I was in love with you too, Pennywenny!”</p>
<p>Penelope tilted her head. “Then why did you marry Lizzie?” Short, to the point.</p>
<p>“I was 17 when I truly realize how much I was in love with you, Penelope. But you were so…so ambitious. You won that major scholarship to Harvard. You always did all kinds of things that made me feel, really…out of my game. You were smart, beautiful, ambitious. I just felt like we were not…well, compatible. Then I met Lizzie, and she, well, she made me happy, too.”</p>
<p>“Being smart and ambitious is not a sin, Damien.”</p>
<p>“Well, it just scared me off, Penelope.”</p>
<p>Penelope felt sad. Ahh, so that was why. She became too much for him!</p>
<p>“Are you single, Penelope?”</p>
<p>“Since 2 years ago. Never married, though.”</p>
<p>Damien took a sip of his coffee. Took a long deep breath.</p>
<p>“Now, on to your next project. Project Tauri is it, Pennywenny?”</p>
<p>Ahh. Yes. That project.</p>
<p>“Project Alpha Centauri,” corrected Penelope.</p>
<p>“Wow! I am so proud of you, Penelope! An astrophysicist at NASA! You will be one of those astronauts on the first space shuttle that will bring human to Mars! The red planet! Human will start the colonization of Mars. You, will help start it, Pennywenny. Finally!” Damien raised his hands to the air as if giving Penelope a homage.</p>
<p>Their rendang and gado-gado and white rice arrived. The smell was so good. None of them really cared to start tucking in the food, though.</p>
<p>“When are you leaving? I mean, in a space shuttle, I guess I must say, when are you blasting off to space?”</p>
<p>Penelope smiled. “In a couple days, Dammy.”</p>
<p>Damien smiled. “Ok, next question. How long will you be up there?”</p>
<p>“Well, three years, Damien. It will take 6 months to get to Mars, 2 years of the project set up, and if I am lucky, I get to take the shuttle back after the first lab is set up there. That’ll be another 6 months trip.”</p>
<p>Damien was quiet.</p>
<p>3 years. Maybe longer.</p>
<p>“Well…” Damien finally opened his mouth. He coughed a little. “Do you think…after 3 years…we can…umm…meet up and see where we are going?”</p>
<p>Penelope bit her lips and lowered her voice. “Start over, you mean? Our friendship?”</p>
<p>“Yes, Pennywenny. Friendship, loveship, relationship, sinking ship…whatever you call it!”</p>
<p>“Stop calling me that!” shot Penelope.</p>
<p>“Sorry. Ok, no more Pennywenny. Penelope Cassiopeia Vay.”</p>
<p>Penelope laughed.</p>
<p>“So?”</p>
<p>Penelope stopped laughing and stared to those blue eyes in front of her deeply. “Yes, Damien. I’d like that.” She whispered.</p>
<p>“Well, listen. Let’s put it this way. Love, our love, must be like this rendang. Ok? See, I read in the menu, the beef chunks must be slow-cooked for several hours before it can taste really good. Dark, spicy, masterpiece of deliciousness like this. Maybe that is how love is. It has to be let grow and simmer for a long time before it can taste really good. So, 3 years, or so, no big deal…” Damien poked around the rendang as he explained. Penelope laughed hard. “Love is like rendang?” Grandma Tika would agree.</p>
<p>“You can be quite poetic, Damien.”</p>
<p>Damien paused. He drew a deep sigh. “I am not, Penelope. But if that’s what it takes to win your heart, then so be it.”</p>
<p>“I love you, Penelope. It took me years to pick up courage to tell you, but hey, better than never told you at all!”</p>
<p>“And I love you too, Damien…”</p>
<p>Damien clasped her hands in his. “Remember rendang when you are up there colonizing a new planet for us human, will you?”</p>
<p>Penelope nodded. Damien looked so serious.</p>
<p>“Now, let’s eat. I am hungry!”</p>
<p>And that was a really, really, good rendang they had that night.</p>The pitter-pattering of the water sounded almost like a random music that played beautifully to those ears who were willing to figure out the tunes. Ahh, and the cumulonimbus, the unmistakable rain clouds, towered above the horizon far away. Grey, massive, and still.Blog: Menjadi mama, yang juga psikolog…2020-07-13T12:00:00+00:002020-07-13T12:00:00+00:00https://lia.kool-tjokro.net/blog/2020/07/13/Menjadimama<p>Satu hal yang dulu pas saya jadi dosen lumayan sering ditanyakan ke saya adalah seberapa banyak psikologi yang saya gunakan untuk mengasuh dan mendidik anak?</p>
<p>Dan jawabannya, susah sekali diungkapkan. Pengetahuan akan psikologi, terutama psikologi kognitif dan perkembangan, sangat membantu saya dalam mencoba mengerti fase-fase yang dialami anak. Lalu, apakah parenting saya jadi mudah? Jadi sempurna?</p>
<p>Tidak, sama sekali tidak.</p>
<p>Parenting adalah sebuah proses jatuh bangun bagi saya dan suami. Kami mencoba berdiskusi, memutuskan apa yang kami kira terbaik untuk anak. Kadang keputusan ini ternyata memang baik sekali baginya, kadang malah membuat keadaan jadi lebih buruk. Sebuah proses belajar, di mana di dalamnya kami belajar untuk mengerti, memaafkan (dan kadang, menertawakan) diri sendiri.</p>
<p>Mengetahui dasar-dasar psikologi membantu dalam artian saya jadi tahu secara umum, hal-hal apa yang mungkin bisa bekerja dengan baik, pendekatan apa yang mungkin bisa membawa hasil yang maksimal. Misal dalam behavioral training, bagaimana menanamkan kebiasaan hidup sehat bagi anak. Saya tahu, kalau apapun itu kebiasaan dibangun dari dua faktor dasar: Pengulangan (repetition), konsistensi (membuat suatu hal menjadi hal yang bisa ditebak anak), dan contoh perilaku dari orangtua. Jadi, misalnya saya ingin membangun kebiasaan sikat gigi setelah makan malam bagi anak, tiga faktor ini akan saya perhatikan. Anak harus setiap malam (pengulangan) setelah makan malam (predictability, konsistensi, anak bisa menebak kalau habis makan malam ia harus sikat gigi), dan contoh dari saya juga sikat gigi setelah makan malam.</p>
<p>Kira-kira begitu ya…☺</p>Satu hal yang dulu pas saya jadi dosen lumayan sering ditanyakan ke saya adalah seberapa banyak psikologi yang saya gunakan untuk mengasuh dan mendidik anak?