Aku tahu, aku berbeda, semenjak aku kecil…

Kepalaku selalu sibuk, selalu penuh dengan angka-angka yang sungguh teramat acak. Aku suka berhitung. Aku menghitung segala hal. Berapa kali Mbak Yun menjatuhkan sendok di dapur? Berapa kali Mama berbicara di telpon hari ini? Berapa mobil berwarna merah yang kulihat di jalanan saat aku ke sekolah?

Semua kuingat, dan sebelum tidur, angka-angka itu akan aku kumpulkan di kepalaku, dan kularikan semua lagi, segala peristiwa, segala kata, segala angka…menjadi sebuah pengantar tidur untukku.

Aku tidak pandai berbicara dengan luwes, aku selalu terlihat kaku dalam tingkah lakuku.

Aku mencoba bercanda, tapi tidak ada yang tertawa. Mereka, teman-temanku, hanya tersenyum kecut dan melanjutkan segala hal yang sedang mereka lakukan, tanpaku.

Aku mencoba menjadi teman yang baik, dengan membelikan jajanan untuk seorang teman yang sedang berulang tahun. Ia marah. Aku membelikannya kacang goreng sebungkus. Ia alergi kacang. Kau mau membunuhku ya?! Begitu katanya, marah. Tapi aku sungguh-sungguh tidak tahu kalau dia alergi.

Aku mencoba menjadi murid yang baik, dengan tidak menjawab pertanyaan Bu Guru di kelas, padahal aku sungguh tahu jawabannya. Aku ingin memberi kesempatan pada teman-teman lain untuk menjawab dan mendapat pujian Bu Guru. Tapi tidak. Bu Guru menatapku marah karena ia bilang aku pura-pura tidak tahu. Teman-teman menatapku aneh, bagaimana mungkin ia tahu jawabannya? begitu pikir mereka.

Aku bisa menghitung 245 x 78 dengan cepat dan akurat, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku katakan saat seorang teman curhat soal keluarganya. Dia kecewa padaku.

Aku takut.

Aku tidak mengerti.

Apakah aku normal?

Kalau aku bukan gadis normal, lalu aku apa?

Mengapa sungguh mudah bagiku untuk mengerti angka dan rumus dan huruf dan teori, tapi mengapa aku tidak pernah diundang ke pesta ulang tahun teman-temanku?

Aku tidak mengerti, dan aku marah pada diriku sendiri. Kenapa aku begini? Kenapa aku tidak begitu?

Hari itu, aku menangis sepulang sekolah.

Aku tidak sengaja menumpahkan segelas es teh ke rok Anna, gadis cantik paling populer di SMA kami.

Ia sangat marah. Sumpah serapah keluar dari bibir cantiknya yang berpoleskan lipbalm warna pink yang mengkilap.

Bego kamu! Kamu sok pinter ya! Kamu orang aneh! Kenapa kamu numpahin teh ke rokku?

Aku tergagap. Kehilangan kata. Kehilangan nalar.

Aku minta maaf, sungguh minta maaf.

Tapi Anna tidak perduli.

Dasar aneh! Pantesan enggak ada yang mau temenan sama kamu! umpatnya marah. Dia enggak cantik lagi kalau lagi marah seperti itu…

Aku berlari pulang dengan airmata yang bercucuran hari itu.

Namun, sebelum sampai rumah, aku memutuskan untuk duduk di taman kota dekat situ. Aku tidak ingin pulang dengan mata sembab. Kasihan Mama, sudah cukup hatinya didera setiap kali ia melihat putrinya pulang sambil nangis…

Aku duduk di bangku taman. Aku mulai menggigit-gigit ujung rambutku, sesuatu yang selalu kulakukan kalau aku sedih atau takut.

Ada seorang kakek di duduk di ujung bangku itu. Ia menoleh dan tersenyum.

Ramah.

Aku berhenti menggigit-gigit ujung rambutku.

Sini, Nak.

Begitu katanya. Suaranya hangat, seperti suara kakekku yang sekarang di surga.

Aku mendekat, dan ia menunjukkan sebuah buku besar hardcover.

ENSIKLOPEDI JAGAT RAYA.

Mau lihat isinya? tanyanya sambil mengangguk-angguk. Matanya bersinar lembut.

Mau, Kek.

Ia membuka halaman demi halaman.

Indah.

Luar biasa.

Planet.

Komet.

Bintang.

Asteroid.

Galaksi.

Jagat raya!

Dan…

Dan, pada halaman 147, ada gambar yang begitu indah yang membuat napasku tertahan. Mataku membulat besar melihatnya. Ohh! Betapa indah!

Gambar itu bagaikan awan asap warna-warni, megah, berkilauan.

Itu nebula, kata sang kakek.

Nebula? Aku pernah mendengarnya, cuman aku tidak yakin…

Nebula, Nak. Tempat yang sungguh amat kacau balau, dengan gas, asap, debu, elemen-elemen alam semesta.

Aku mengangguk. Mataku lekat menatap nebula di halaman 147 itu.

Kau tahu tempat apa nebula itu? tanya sang kakek perlahan sambil mengetuk-ngetuk gambar nebula itu.

Aku menggeleng-geleng.

Nebula, tempat yang sangat kacau balau, ledakan, awan asap debu yang berputar, bertubrukan, adalah…tempat lahirnya bintang-bintang baru di jagat raya…

Aku terpaku. Tercenung.

Dari sebuah kekacaubalauan maharuwet, lahirlah bintang-bintang baru. Wow.

Sang kakek tertawa kecil melihat kekagumanku pada nebula.

Kau, sedang berada dalam sebuah nebula, Nak. Segala yang tak kau mengerti mengenai dirimu, pastilah ada jawabannya. Kau, adalah, bintang yang sedang dibuat dan ditempa dalam pusaran yang begitu kacaubalau. Tapi begitulah caranya bintang terbentuk di jagat raya. Mereka dibentuk di nebula, sebelum mereka siap untuk bersinar untuk jutaan tahun lamanya.

Sang kakek menatapku dengan sepasang mata yang bersinar begitu baik, dan aku terperangah. Bagaimana mungkin dia tahu?

Kakek itu meletakkan buku ensiklopedi itu di pangkuanku, dan berjalan, berlalu, tidak pernah kulihat lagi.

Itu, sudah 20 tahun lalu.

Aku tumbuh dan belajar keras untuk mengerti diriku sendiri. Saat aku berumur 18 tahun, selulus SMA, aku mendaftarkan diri untuk ikut sebuah tes untuk memasuki universitas ternama di kotaku. Aku lulus dengan bintang gemerlap.

Dan aku kuliah, teknik dan astrofisika. Sebuah dunia yang membuatku terkapar jatuh cinta. Jatuh cinta setengah mati.

Angka-angka yang begitu indah, beterbangan di kepalaku. Aku akhirnya bebas! Bebas bermain dengan angka! Angka yang begitu menenangkanku, bagaikan sebuah selimut lembut yang menghangatkan tubuh dingin di malam musim gugur.

Profesor tua baik hati yang menjadi pembimbingku mengusulkan sebuah IQ tes untukku saat aku berhasil mengalahkan komputer dalam kecepatan berhitung rumus rumit yang membuat sang profesor sendiri mual-mual.

Aku, ternyata, memiliki IQ yang sangat tinggi, dan karena cara berpikirku yang memang berbeda dari banyak orang, akupun selalu kelihatan aneh dalam pergaulan.

Seandainya teman-temanku waktu kecil mengerti itu. Seandainya…

Sekarang, aku bekerja di sebuah observatorium luar angkasa, dengan teleskop-teleskop besar nan canggih.

Dan nebula, menjadi bagian hidupku. Dengan teleskop-teleskop besar itu, aku mengawasi nebula. Mencatat, menghitung…dan, mencoba mengerti.

Kolegaku memanggilku dengan sebutan Sang Pengawas Nebula.

The Nebula Whisperer.

Aku tidak keberatan.

Dan kau tahu, jutaan bintang-bintang terbentuk setiap hari, nun jauh di jagat raya luar sana, dan, juga di bumi, seandainya engkau mencoba untuk mengerti…