Cerpen: Willemijn
Kastil Reinhardstein. Bangunan batu yang menjulang indah di tengah hutan 30 menit dari kota Malmedy, di selatan Belgia. Kastil yang dibangun di tahun 1300an itu tua, dengan semak-semak tumbuh di berbagai bagian luar temboknya yang tetap kokoh walaupun dimakan usia.
700 tahun usia kastil itu! Betapa banyak yang sudah ia saksikan, betapa banyak orang yang sudah berdiri disini, di titik ini, mengagumi keindahan dan kemegahan kastil itu.
“Ben! Sudah siap?!” suara panggilan ibunya mengagetkan Ben, pemuda jangkung kurus berusia 18 tahun dan berkacamata dengan frame hitam yang sedang sibuk mengagumi keindahan kastil itu.
Ben berbalik, tas ranselnya yang lumayan penuh dengan berbagai tetekbengek bergoyang-goyang mengikuti putaran tubuhnya.
“Siap Ma!” sahutnya sambil menuruni sebuah jalan setapak kecil di halaman kastil itu menuju ke arah seorang wanita bule cantik paruh baya bertopi lebar yang tengah menantinya di gerbang kastil itu.
“Yuk! Pemandu kita sudah siap tuh!” ucap mamanya sambil menepuk bahu putranya. Ben mengangguk-angguk. Mamanya mempunyai kebiasaan ini…menepuk bahunya keras dalam berbagai kesempatan, walaupun kadang ia juga menepuk bahunya tanpa alasan.
Ah, ia akan rindu Mamanya saat ia kembali ke Indonesia minggu depan. Mengapa papa dan mama harus bercerai? Lima tahun. Lima musim panas, ia habiskan liburannya dengan mamanya di Belgia, negara kelahiran mama.
Suatu saat kau akan mengerti, Ben.
Cinta, kadang, harus berakhir di satu titik.
Kami tetap mencintaimu dan akan tetap menjadi papa dan mamamu.
Begitu. Kata papa dan mama.
Ben hanya mengangguk-angguk, tanpa pernah benar-benar mengerti. Tanpa pernah benar-benar setuju. Tampaknya yang namanya cerai adalah suatu hal di mana sang anak tidak akan ditanya apakah dia setuju atau tidak. Padahal, kalau acara liburan, dulu, Ben pasti akan ditanya apakah ia setuju atau tidak. Atau mau makan apa malam Minggu. Atau mau beliin kado apa untuk nenek. Atau mau mainan apa untuk kado ultahnya. Semua ia akan ditanyai, pendapatnya cukup berharga. Tapi, ironisnya, dalam satu hal mahapenting ini, kelanjutan keluarganya, ia tidak ditanyai. Tidak sama sekali.
“Ben! Jangan ngelamun dong!” Tepukan tangan mamanya di bahunya mengagetkan Ben lagi.
Ben buru-buru mengikuti langkah Mamanya ke arah sang pemandu yang akan membawa mereka keliling di kastil tua itu.
Pemandu itu wanita paruh baya, seumuran Mama. Ia mengenakan pakaian gaun ala abad pertengahan dengan rambut yang tersanggul rapi. Sekuntum bunga mawar berwarna kuning tampak tersemat manis di sanggulan rambutnya itu.
Pemandu itu mengucapkan selamat datang pada Ben, mamanya, dan kira-kira 10 orang lain yang juga akan ikut dalam rombongan tour keliling kastil itu.
Tour keliling kastil itu benar-benar merenggut segenap fokus Ben. Tangga-tangga melingkar yang sama tuanya dengan bangunan kastil itu tanpa pernah direstorasi, karpet-karpet tua original, lukisan-lukisan wajah orang-orang yang pernah hidup di kastil ini…
Sejarah yang bisa ia sentuh di ujung jarinya saat ini. Bau-bauan batuan tua yang merasuki hidung. Begitu banyak cerita yang tersimpan di kastil ini! Keluarga-keluarga bangsawan yang pernah tinggal di sini, ada yang berakhir bahagia, ada yang tragis, ada yang sangat tragis.
Kematian, kelahiran, duka, suka, intrik, politik, cinta tak sampai…
Dan perceraian.
Ternyata konsep bercerai sudah ada juga sejak zaman kastil ini!
Ben menghela napas. Suara pemandu yang sibuk menjelaskan mengenai asal-usul baju zirah yang megah terpajang di ruang utama kastil itu terdengar semakin sayup.
Perlahan ia melangkah menuju sebuah lorong di samping kanan ruang utama kastil itu.
Kiri kanan lorong itu tampak penuh berbagai senjata-senjata yang terpajang rapi di dalam kotak-kotak kaca. Pedang berbagai ukuran, tombak, perisai, busur.
Lantai batu di bawah kakinya terasa naik turun tak rata. Sepatu ketsnya menyerap sebagian tonjolan-tonjolan tak rata dari lantai batu itu, tapi tidak semua.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tiba-tiba sebuah suara merdu mengagetkan Ben.
Ben berbalik dari pedang yang sedang diamatinya. Seorang gadis manis berbaju gaun zaman abad pertengahan, dengan mata biru laut dan rambut keemasan panjang bergelombang berdiri di ujung lorong itu.
Dari pakaiannya, Ben menduga gadis itu juga pemandu kastil itu. Walaupun bajunya warnanya berbeda dari warna baju pemandu grupnya.
Ben gelagapan. “Ehh aku…aku ikut rombongan tour kastil ini!” sahutnya sambil diam-diam mengagumi kecantikan gadis di hadapannya ini. Anggun, langsing, dan mungil. Mungkin tingginya tidak sampai 160cm.
“Lalu kok kamu di sini? Ini bukan ruangan yang termasuk dalam tour kastil ini…” gadis itu menelengkan wajahnya penuh rasa ingin tahu.
“Maaf…maaf…aku nyasar…” jawab Ben seadanya.
Gadis itu menatapnya, menyelidik. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Rambut pirang keemasannya tampak bergoyang seiring anggukan kepalanya.
“Baik kalau begitu. Rombonganmu sudah berada di lantai bawah kastil ini. Kau mau ke sana? Aku bisa mengantarmu…”
Ben tidak mendengar suara pemandunya lagi. Ahh, mungkin Mamanya, sang sejarawan amatir, terlalu larut dalam tour itu sehingga tidak menyadari ia sudah tidak bersama rombongan!
“Baiklah,” sahut Ben. Ia tahu ia butuh pemandu untuk bisa menemukan kembali rombongannya karena kastil ini sangat besar dengan lorong-lorong dan tangga-tangga yang lumayan membingungkan. Dan ia tidak mau mamanya panik karena ia hilang!
“Aku Willemijn…kamu?” gadis itu menganggukkan kepalanya tanda perkenalan. Gadis itu tampaknya ramah sehingga membuat Ben merasa lebih tenang.
“Ben…Benjamin Reynaud Santoso…” sahut Ben, tidak yakin apakah gadis itu mau tahu nama lengkapnya.
Willemijn mengangguk dan tersenyum.
“Ayo!” ajaknya.
Ben menurut dan mulai mengikuti langkah gadis itu.
Dan Willemijn membawanya menuju ruangan demi ruangan yang penuh dengan berbagai artefak kastil. Perpustakaan kuno dengan buku yang berumur ratusan tahun, ruangan tidur berbagai penghuni kastil, dapur, dan Willemijn sungguh pemandu yang sangat berpengetahuan! Ia menjelaskan segala hal dengan lancar, dengan detail luar biasa.
Ben terus berjalan, tanpa menyadari bahwa gadis itu membawanya dalam rute yang begitu panjang untuk kembali bertemu rombongannya.
Namun ia sungguh menikmati tour kastil itu bersama Willemijn.
“Kau tinggal di dekat sini ya? Kau tahu begitu banyak tentang kastil ini,” ucap Ben akhirnya.
Willemijn berbalik dan menatapnya dengan mata biru indah itu. “Iya. Dari lahir,” sahut Willemijn sambil tertawa kecil. Suara tawa yang merdu itu membuat jantung Ben berdetak lebih kencang.
“Ini! Ruangan lukisan keluarga…” Willemijn membuka sebuah pintu kayu yang berat.
Ben mengikuti langkahnya masuk ke dalam ruangan itu.
Ahh bau debu tercium menyengat.
Jajaran lukisan tua berbagai ukuran tampak tergantung di dinding ruangan itu.
Willemijn dengan lancar menjelaskan siapa obyek dari setiap lukisan tua itu.
Sampai mereka berhenti di depan sebuah lukisan sepasang pria dan wanita. Sang pria tampak berkumis dan janggut hitam lebat dengan tatapan mata biru yang dingin menusuk. Sang wanita tampak duduk, wajah bulatnya dihiasi senyum yang amat samar dan tatapan mata yang tampak sayu. Sayu dan lelah. Entah mengapa, Ben merasa ada kesedihan di lukisan itu.
“Tuan dan Nyonya van den Regenhout…tuan tanah daerah sini pada tahun 1600an…” Willemijn berucap lirih sambil mengelus lukisan itu.
Ben mengangguk.
“Mereka menikah saat masih sangat muda, memiliki 10 anak, dan lukisan ini dibuat beberapa bulan sebelum mereka memutuskan bercerai…” jelas Willemijn perlahan.
Ben tercenung. Sepuluh anak-anak Tuan dan Nyonya van den Regenhout juga harus menghadapi monster mengerikan bernama perceraian orangtua.
“Orangtuaku juga cerai…” lirih suara Ben.
Willemijn menoleh dan menatapnya, penuh pengertian. “Sedih ya rasanya…”
Ben mengangguk. Ia menangis berhari-hari saat mengetahui papa dan mamanya akan tinggal terpisah. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Kalau ia tidak suka membantah, apakah mama papa masih akan bersama? Kalau ia tidak suka melanggar aturan mengenai jam main games-nya, apakah papa mama akan batal cerai? Apakah pertengkaran antara mama dan papa karena dirinya? Apa sih salahnya, sebenarnya?
“Tapi kau masih menyayangi papa mamamu, bukan?” tanya Willemijn.
Ben menghela napas. “Tentulah, Willemijn! Aku sayang mereka dan tidak ingin mereka pisah!”
“Kalau kau sayang mereka, kau mau mereka bahagia kan?”
Ben berpikir sejenak, dan mengangguk.
“Papamu adalah satu orang, mamamu adalah orang yang lain. Mereka bertemu, dan memutuskan untuk saling mencintai, dan lahirlah kamu. Dan kamu, adalah satu orang juga, yang lain dari papa dan mamamu…” mata biru Willemijn menari lembut.
“Lalu?” Ben bertanya sambil berusaha menyelami dalamnya biru mata Willemijn.
“Lalu…saat mereka memutuskan berpisah, dan mengakhiri hubungan pernikahan mereka, itu bukan berarti kau juga harus berhenti berbahagia, Ben. Kau harus tetap hidup sepenuhnya…dan belajar mensyukuri apa yang masih kau miliki. Apa yang terjadi bukanlah salahmu…” suara Willemijn lembut membasuh luka hati Ben. Luka yang belum pernah terasa benar-benar sembuh sejak perceraian orangtuanya.
“Orangtuamu cerai juga ya?” Ben mencoba tersenyum.
Willemijn tersenyum lembut. “Ya. Dan percayalah, butuh waktu lama, sangat lama, bagiku untuk bisa mengatakan apa yang barusan kukatakan padamu…”
Ben mengangguk.
Willemijn membawanya keluar dari ruangan itu, turun sebuah tangga melingkar dari batu, dan mendorong sebuah pintu yang membawa mereka ke sebuah ruangan lagi yang juga penuh lukisan.
Dilihatnya rombongan tournya.
Tak ada seorangpun yang tampaknya menyadari ia sudah tidak bersama rombongan sedari tadi…
“Itu rombonganmu, Ben. Terima kasih atas kunjunganmu di kastil ini! Aku senang telah bertemu denganmu…” Willemijn menepuk tangannya pelan.
Ben tergagap.
“Willemijn, boleh aku tahu kamu tinggal di mana? Boleh aku mengontakmu sesekali?”
Willemijn tersenyum samar. “Ingatlah aku, Ben! Ingatlah kastil ini! Ingatlah untuk tetap hidup, hidup sepenuhnya. Aku…aku tinggal disini…”
Willemijn berbalik dan menutup pintu.
Ben tercenung mencoba mencerna kata-kata Willemijn.
“Ben!! Sini!! Lihat ini!” tiba-tiba suara Mama menyentak Ben.
Ben mengamati pintu tempat Willemijn berlalu, dan akhirnya memutuskan untuk berbalik dan berdiri di samping mamanya yang sedang mengagumi sebuah lukisan tua.
Lukisan seorang gadis cantik bermata biru laut dan berambut pirang keemasan. Tatapan mata gadis itu tampak sayu, malu-malu, ada banyak kata tersimpan, namun tak terucap, dan takkan pernah lagi terucap…
Sebuah plakat nama tampak tergantung di bawah lukisan itu:
Lady Willemijn Anneliese van den Regenhout, 1650-1668.
“Cantik ya Ben…” bisik Mama pada Ben yang sekarang melongo pucat pasi. Keringat dingin bercucuran dari keningnya.
“Willemijn…” tanpa sadar Ben mengulang nama itu.
“Ahh, ya…Lady Willemijn. Putri bungsu Tuan dan Nyonya van den Regenhout. Dia jatuh dalam depresi berat setelah perceraian orangtuanya, dan bunuh diri di usianya yang ke-18 tahun…” suara pemandu yang sudah berada di samping Ben terdengar sayup, dikalahkan debar jantung Ben yang begitu keras menghentak-hentak sekarang.
Willemijn! Kau sudah tiada dari tahun 1668! Lalu yang barusan membawanya tour kastil…adalah…
Semua kata-kata Willemijn terngiang jelas di telinganya sekarang.
Pantas dia tahu begitu banyak mengenai kastil ini! Ia benar-benar pernah hidup dan tinggal di sini…
Ben menghela napas, berbalik dan memeluk mama dengan erat. Tidak, ia tidak harus berhenti berbahagia, dan mungkin, berpisah adalah salah satu cara papa dan mama mencari kebahagiaan mereka, dan…membantunya mencari kebahagiaannya sendiri…
Ben menoleh menatap kastil itu saat tour selesai. Dilihatnya Willemijn dan senyum lembutnya di salah satu jendela kastil.
Willemijn mengangguk, dan Ben balas mengangguk. Tersenyum. Dan berlalu, meninggalkan kastil Reinhardstein, dan Willemijn, di belakang.
NOTE
- Kastil Reinhardstein ada di Ardennes, Belgia.