Laut hari itu tenang. Biru, sebiru-birunya, sepanjang mata memandang. Ombak lemah lembut bergelut gemulai, berkejaran satu sama lain, tak lekang oleh waktu, dari hari pertama angin berembus sampai nanti, di penghujung waktu. Matahari terik di langit cerah tak berawan.

Dan sang pelaut menghela napas.

Ia lelah. Ia pegal. Ia takut.

Kulitnya merah pecah-pecah.

Air asin laut menggerus memedihkan.

Dieratkannya pelukannya pada sebatang kayu hitam basah rapuh, sisa dari perahunya.

Perahu yang karam karena menabrak karang.

Karang yang tadinya ia kira pulau tempat ia dapat bersinggah melepas penat membasuh peluh.

Bersinggah? Tidak, tidak jadi. Angin badai bertiup, marah, angkuh, melesakkan perahunya, menghantam karang. Dan karam.

Tuhan. Ya. Tuhan. Tuhan yang sudah lama ia abaikan, mungkin Tuhan ini juga yang membantunya, sehingga hari itu bukan jadi harinya yang pamungkas sebagai manusia bernapas.

Ia berhasil meraih sebatang kayu dan berpegangan erat-erat pada kayu itu. Terombang-ambing.

Pikirannya terlempar jauh, terbawa arus memori dan nostalgia, ke tahun-tahun yang telah lampau, yang lama lewat, yang lama lapuk, yang lama ingin ia lupa, namun apa daya, ia tak tega.

Ia pergi dari rumah, melangkah gagah, meninggalkan sarang sayang yang ramah dan hangat dalam kebasan debu langkah kakinya.

Ia kibaskan selimut hangat dan keluar menghadapi terpaan angin dan hantaman badai.

Ia cium kening istri dan tangan ibunda. Janji ia ucapkan. Aku pasti akan pulang. Pasti.

Ia harus buktikan ia laki-laki, mendayung perahunya, mencoba meraih cita, dan mimpi, akan harta dan tahta.

Lama ia melaut.

Dan laut, sang samudera, dengan ombaknya yang terkadang membelai terkadang menghempas, mengubahnya.

Oh! Betapa jauh arus membawanya!

Ia bertemu…ah…bidadari laut. Cantik dan montok, mereka yang membawanya berbelok, tatkala ia harus lurus.

Ia mengais harta karun, ahh…betapa indah menyilaukan emas berlian itu!

Gelimang harta karun dan nyanyian cinta pesona bidadari laut sungguh memberinya kebahagiaan. Mabuk, lupa, namun juga bahagia.

Mabuk sampai tak bisa ia bedakan lagi mana hitam mana putih.

Lupalah ia pada rumah dan janji.

Dan kebahagiaan?

Itu yang ia pikir ia rasakan.

Sampai harta karun habis, bidadari laut menghilang, dan kebahagiaannya pun menguap.

Semua ternyata hanyalah fatamorgana, ilusi yang mencampakkannya.

Dan akhirnya, hanya ia dan perahunya yang tersisa.

Perahu yang kini karam.

Sang pelaut menghela napas.

Ia bingung, sebingung-bingungnya. Hilang arah, hilang nalar, di mana ia sekarang? Ke mana ia harus pergi?

Ah, dilihatnya rajah hitam pudar di punggung tangannya.

Sebuah nama.

Sekilas paras.

Seuntai kenangan.

Kenangan yang lama ia khianati.

Ingatkah ia akan aku? pikir sang pelaut.

Akankah ada senoktah maaf di hatinya yang seputih kapas selembut awan?

Aku mau pulang, pulang padanya.

Mercusuarku.

Sang pelaut menangis tersedu-sedu.

Ia butuh mercusuarnya sekarang!

Ia mau pulang!

Ia rindu!

Namun, matanya semakin gelap.

Air laut semakin asin.

Kulitnya semakin pedih.

Ia lelah, tulangnya bergemeretak, sendinya meradang, dan ia sangat mengantuk.

Kesadarannya memudar, perlahan melayang menyentuh tabir nadir antara ada dan tiada.

Pegangannya pada batang kayu terlepas, dan laut dengan senang hati menelannya, perlahan, air menggumulnya, mengisi paru-parunya, membelai tengkuknya, wajahnya, rambutnya, ubun-ubunnya, menariknya turun, turun…

Detak debar jantungnya, satu-satunya teman pengusir sepi di malam-malam tak berbintang, perlahan sayup, dan akhirnya, senyap.

Dan ia bermimpi, sebuah mimpi yang panjang…

Akan titik detik waktu yang telah berhenti berlari.

Akan senyum hangat.

Akan cinta tulus.

Dan akan usapan halus yang membasuh pedih luka badan dan lara hatinya.

Pengampunan yang mendamaikannya di hilir hidupnya.

Ia menemukan mercusuarnya!

Akhirnya!

Mercusuar yang akan menuntunnya pulang.

Mercusuar untuk sang pelaut yang telah lama hilang di dalam hempasan pusaran samudera, dan telah sangat rindu untuk ditemukan…