“Tidak bisa. Aku tidak bisa…” bisik Cassandra kepada wanita di hadapannya. Napasnya terengah, rambutnya kusut masai, dan segala warna telah hilang dari wajah itu.

“Kau bisa,” sebuah jawaban yang membuat Cassandra mendelik marah pada wanita di hadapannya itu.

“Gampang untukmu! Kau…kau…hanyalah…” bentaknya marah, air liurnya menetes dari ujung bibirnya yang kering pecah berdarah.

“Aku hanyalah seseorang yang sangat mengenalmu dan aku tidak mau kau jatuh lebih dalam!”

“Kau…” Cassandra terbungkam, ia tak sanggup melanjutkan katanya. Wajah di hadapannya begitu familiar, namun kini terasa begitu jauh dan begitu menyakitkan untuk dipandang.

Ahh…dan emosi itu mendekapnya lagi dalam gelap. Enam bulan terakhir dalam dekapan emosi itu bagaikan jurang tak berdasar. Cassandra menarik napas dalam-dalam, terasa sakit di dadanya. Matanya berkunang-kunang, fragmen botol-botol berisi pil-pil di hadapannya. Dibacanya huruf-huruf hitam di botol pil itu. Prozac. Teman setianya, antidepresan yang membantu mengembalikan sedikit warna di hari-hari abu-abunya.

“Kau tahu itu bukan salahmu…” bisik wanita di hadapannya.

“Diam kau!”

“Wanita itu melompat di depan kereta! Ia memang ingin mati! Dan sekarang, apa kau mau mati juga?”

Cassandra tercekat, dan didengarnya gedoran keras di pintu.

“Aku gagal menariknya! Aku melihat di akan melompat, dan aku berlari sekuat aku bisa. Aku cuma berhasil menarik jaketnya, dan dia…dan dia…jatuh…” sesenggukan tangis Cassandra tatkala bayangan tubuh wanita asing itu jatuh berdebum tepat di depan kereta metro yang melaju kencang kembali membanjiri ruang kepalanya. Dan dirinya jatuh berserakan dalam jurang depresi sejak peristiwa 6 bulan lalu itu.

Psikolog yang ia temui menyebutnya sebagai PTSD. Post Traumatic Stress Disorder. Setiap hari, bayangan tubuh wanita itu yang diterjang kereta metro, dan bunyi berdebum yang begitu memekakkan masih ia dengar.

Gedoran keras di pintu tak ia hiraukan.

Cassandra menatap wajah wanita di hadapannya. Wajah itu, begitu familiar namun saat ini, tidak banyak yang bisa ia ingat mengenai wanita itu.

“Minum obatmu, Cassie…” bisik wanita itu.

“Tidak. Apa bedanya?”

“Obat akan membantumu mengingat hidupmu lagi. Mengingat hari-hari dan senyum. Dan Lucas. Ia sangat menyayangimu, dan keadaanmu seperti ini membuatnya sangat sedih juga.”

“Lucas…”

“Ya, Lucas. Suamimu.”

Gedoran itu semakin kuat di pintu.

Cassandra memejamkan matanya. Airmatanya mengalir deras. Pipinya terasa pedih saat airmata itu mengalir di kulitnya. Kulitnya menjadi merah dan kering karena tangis yang amat sering jatuh diatasnya.

Suara deru metro yang menghantam tubuh wanita itu kembali memekakkan telinganya. Cassandra menutup telinganya dan mulai menangis meraung-raung. Suara tangisnya sedikit menenggelamkan suara deru metro di kepalanya itu.

Cassandra membuka matanya dan diantara gelembung airmata yang berderaian dapat dilihatnya wanita di hadapannya. Seseorang yang ia kenal.

Ia mengambil sebuah gelas dari atas wastafel. Ia benci wanita itu! Dengan satu lemparan keras, gelas itu meluncur ke wanita di hadapannya itu.

Cermin kamar mandinya jatuh berserakan. Wanita itu hilang.

Cassandra meraung-raung.

Pintu kamar mandi didobrak dan seorang laki-laki menerjang masuk.

“Cassie!! Tidakkah kau mendengarku menggedor pintu?!” sergah Lucas. Raut wajahnya penuh rasa kuatir yang amat sangat.

Ia melorot, jatuh terduduk di atas lantai kamar mandi dalam pelukan Lucas, sang suami.

Tapi pertarungannya dengan sang monster di dalam kepalanya belum usai. Pertarungan yang mungkin akan ia menangi atau mungkin ia akan kalah total…