Sebuah bola kecil berwarna merah menggelinding di jalan berdebu.

Merah. Kusam. Dengan permukaan yang lumayan mulus untuk bola lusuh sebesar ukuran bola basket itu.

Dari mana datangnya?

Tidak ada yang tahu.

Mau ke mana bola itu menggelinding?

Hanya nasib yang tahu. Nasib, dan segala ilmu teori fisika yang memungkinkan sebuah bola menggelinding di jalan berdebu penuh kerikil itu.

Daerah itu kumuh dan kering. Daerah termiskin dari kota ini. Kadang-kadang, jalanan itu dibersihkan dan segala lubang ditambal. Dua bulan kemudian, aspal itu akan amblas lagi, karena yang dipakai adalah aspal kualitas palsu.

Namun, tidak peduli kondisi jalan itu. Bola merah it terus saja menggelinding.

Sampai seorang bocah laki-laki berumur sekitar enam tahun datang berlarian dari dalam rumahnya yang sangat sederhana dan mengambil bola itu.

HUPPP! Si bocah menangkap bola itu dan tersenyum senang.

“Bola merahnya bagus sekali!” bisik si bocah sambil matanya sibuk mengamati bola itu, lalu matanya juga berkeliling mencari apakah bola itu ada pemiliknya. Bagaimanapun, mencuri itu tidak baik, tidak boleh. Setelah yakin bola itu tidak berpemilik, si bocah berlari masuk ke rumahnya yang sederhana.

Ayahnya sedang duduk tepekur memandangi sebuah slip kertas merah.

“Ayah! Lihat! Ada bola di jalanan!! Tidak ada pemiliknya, Yah…aku ambil…” girang si bocah.

Sang ayah mengangkat wajahnya yang lelah berkeringat dan mencoba tersenyum. Senyum yang berhasil muncul hanyalah sebuah senyum getir. Mungkin karena pikirannya penuh oleh isi slip merah ditangannya.

Slip PHK.

“Yah! Main bola yuk, Yah! Sebentar saja, yuk!” si bocah melompat-lompat girang.

Si ayah terbatuk. Ditatapnya si anak. Dihelanya nafas berat. Pikirannya penuh. Kusut masai benang di pikiran itu. Namun, apa salahnya main sepakbola sebentar, pikir si ayah sambil menatap bola mata bening sang anak yang membinar begitu bahagia.

Jadilah ayah dan anak itu bermain bola di lapangan kering beberapa meter dari rumah mereka.

Bola merah itu menggelinding kesana kemari mengikuti arah tendangan sang ayah dan anak. Tak lama, tawa lepas terdengar. Sang ayah berhasil mencetak gol! Lalu si anak berteriak-teriak girang.

Permainan bola itu berlangsung sejam. Lebih, mungkin. Ayah dan anak itu sama-sama berkeringat, dan bermain dengan segenap hati.

BUKKKK!!! Pada satu kesempatan, si ayah menendang bola terlalu keras. Bola itu melambung jauh, melewati sebuah pagar tembok tinggi yang memisahkan mereka dari sungai deras di balik pagar tembok itu.

“Yaaahhh…ayah…bolanya hilang sekarang…” bisik si anak sedih.

Sang ayah menggigit bibirnya. Kecewa tendangannya sudah melambungkan bola itu di luar jangkauan mereka.

“Maaf ya, Nak…lain kali ayah belikan bola baru ya…” ucap sang ayah perlahan sambil menepuk bahu anaknya. Sang anak menoleh dan menatap sang ayah dengan penuh harapan.

“Benar, ya, Yah?”

Sang ayah tersenyum. Lalu mengangguk pasti. “Aku janji,” ucapnya mantap, semantap-mantapnya.

Iapun pulang sambil menggandeng sang anak. Ada harapan baru di hatinya. Ia harus mencari kerja lagi! Supaya ia bisa mulai menabung untuk membelikan bola untuk anaknya…

Sementara itu…

Ke mana si bola pergi?

Bola merah itu kini basah kuyup, mengambang di atas sungai berair deras setelah jatuh di sungai itu habis ditendang si ayah barusan.

Dan bola kecil it terus mengambang mengalir bersama air sungai deras berwarna kecoklatan itu.

Sampai bola itu tersangkut di sebuah pohon yang jatuh ke sungai. Cabang-cabang pohon besar itu bertebaran, dan bola merah itu tersangkut di salah satu cabang itu.

Seorang pemuda sedang melamun di tepi sungai. Ia sedang dilanda duka setelah pacarnya memutuskan hubungan kasih mereka karena menilai dirinya sangat egois. Si pemuda melihat bola itu dan berjalan untuk memungut bola yang nyangkut itu.

Pemuda itu membawa bola itu sambil mengamatinya. Bola kumal, pikir si pemuda.

“Kak!! Bolanya pinjam dong!!” teriakan sekelompok anak terdengar. Si pemuda menoleh, dan dilihatnya sekelompok anak-anak berlompatan berusaha mendapatkan perhatiannya. Hmm, anak-anak itu pasti berasal dari tenda-tenda pengungsi korban bencana tanah longsor yang berada di dekat sini. Mereka kehilangan semua harta benda dalam bencana besar 3 hari lalu itu.

Si pemuda berpikir sejenak. Kenapa tidak, akhirnya ia memutuskan.

Maka si pemuda pun sibuk menjadi wasit pertandingan bola anak-anak itu. Sungguh menyenangkan.

Dan sang mantan pacar si pemuda yang kebetulan menjadi tenaga relawan di tenda pengungsi itu melihat pemuda itu begitu bahagia bersama anak-anak bermain bola. Sang mantan pacar pun tersenyum kecil dan berpikir, “Hmm…mungkin aku salah menilainya…satu kali kesempatan harus aku berikan padanya!”

Happy ending buat si pemuda dan pacarnya yang akhirnya balikan.

Bagaimana nasib si bola? Nah, si bola merah ditendang oleh salah satu anak itu dan meluncur ke sebuah selokan yang membawa bola itu mengalir jauh…

Ke mana bola itu pergi?

Itu adalah pertanyaan untuk para pembaca semua. Ke mana bola itu pergi? Siapa yang akan memungutnya? Bagaimana cerita kelanjutan si bola merah?

Aku juga tidak tahu. Mungkin, ada tangan malaikat yang menggerakkan bola itu. Membawa kebahagiaan dengan cara yang tak kasat mata.

Sudahkah kau membuat setidaknya satu orang tersenyum hari ini? Kalau sebuah bola merah kumal bisa, kau pasti bisa!